Hari Kartini

100% Perempuan, 100% Indonesia

Pada 11 Oktober 1901, Raden Adjeng Kartini menulis surat ini kepada Estelle Zeehandelaar: sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengangkatan derajat dan pengadaban rakyatku.


Kepada orang yang sama, Kartini juga menulis: disebut bersama dengan rakyatku, dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan rakyatku! (surat 17 Mei 1902)

Memang, mungkin agak sulit membayangkan situasi ini: seorang perempuan muda semacam Kartini, yang karena belitan adat dan tradisi terpaksa dikurung di dalam rumah, namun pikirannya mengembara jauh melintasi tembok empat sisi, dan hatinya tertambat pada rakyat yang lemah dan miskin.


Tapi itulah Kartini! Sebuah jiwa yang besar, memang tak akan dapat dikekang oleh sekadar tembok empat sisi. Kartini bukannya tak punya pengalaman berada di tengah rakyat. Bersama ayahnya, Raden Mas Adipati Sosroningrat, yang adalah Bupati Jepara, Kartini pernah mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan rakyat. Banyak hal yang telah menyentuh hatinya: kekeringan, sawah yang rusak, kelaparan, kolera, juga banjir. Situasi sosial, digabungkan dengan bakat kepengarannya yang besar, tak membuat heran jika Kartini pernah menulis begini: betapa nilai pena itu meningkat, kalau orang mempergunakan tinta dari darah jantungnya sendiri (11 Oktober 1901).


Fokus perhatian Kartini pada akhirnya memang mengerucut pada nasib perempuan di zamannya. Aku akan berusaha dengan alat penaku menarik perhatian mereka, yang dapat membantu usaha kami untuk mendatangkan perbaikan bagi nasib wanita Jawa, begitu tulisnya. Akan tetapi, fokus perhatian itu masih menunjukkan keberpihakannya pada yang lemah dan tertindas.


Lalu bagaimana dengan kita? Dengan kondisi hidup dan kebebasan yang jauh lebih baik daripada Kartini, apakah pikiran dan hati kita jauh melampaui diri kita sendiri? Dalam penderitaannya, Kartini masih mampu memikirkan dan merasakan penderitaan orang lain. Dalam kebebasan kita, apakah penderitaan orang lain itu menjadi satu pilihan saja di antara pilihan-pilihan lain yang ada? Apakah kita memilihnya?


Orang-orang miskin ada padamu dan kamu dapat menolong mereka bilamana kamu menghendakinya, demikian pesan Yesus kepada para murid-Nya (Markus 14:7). Menjadi Gereja yang menebus, itulah panggilan bagi kita. Jika Kartini dapat memilih dan menghidupi semangat ini: 100% perempuan dan 100% Indonesia, kita pun dapat melakukan hal yang sama sebagaimana digagas oleh Soegijapranata: 100% Katolik dan 100% Indonesia. Dalam bahasa pastoral Keuskupan Agung Jakarta: semakin setia kepada Yesus, semakin berbakti kepada masyarakat.

Sebagai pengantar langkah yang lebih mendarat, mungkin ada baiknya sedikit meresapkan pesan Kartini ini: hidup bukanlah impian, tapi kenyataan-kenyataan yang dingin dan telanjang, tetapi kenyataan itupun tak perlu buruk kalau orang tidak menghendakinya... (15 Agustus 1902). (hdj)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...