Hari Anti-Prostitusi Anak

Aku Mohon, Jangan Jual Diriku...

Sebut saja nama anak itu Maria. Usianya masih 15 tahun waktu itu, ketika sahabatnya menjanjikan sebuah pekerjaan yang menguntungkan serta kesempatan untuk meneruskan pendidikan. Maklum, Maria hanyalah anak sebuah keluarga miskin. Iming-iming untuk mendapat pekerjaan dan meneruskan sekolah membuatnya beranjak meninggalkan desanya.

Tapi janji tinggallah janji. Sesudah sebuah perjalanan panjang yang tak diketahui tujuannya, Maria justru dipertemukan dengan seorang laki-laki separuh baya yang kemudian memperkosanya. Maria kemudian dijual kepada sebuah rumah pelacuran, tempat ia dijaga siang-malam sehingga tak dapat menjumpai dunia bebasnya lagi. Tempat itu jugalah yang mengubur semua harapan, juga mimpi akan masa depan yang tadinya tampak begitu menyenangkan.

Ibarat Gunung Es
Kisah Maria di atas bukanlah secarik potongan novel, atau fragmen dalam sebuah film. Kisah itu sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan seorang anak yang tinggal di Solo, Jawa Tengah. Tragisnya, kisah yang sama juga dialami oleh ribuan anak lainnya.
Sebuah badan PBB yang menangani masalah anak-anak, United Nations Children’s Fund (Unicef), memperkirakan puluhan ribu anak-anak Indonesia dijual setiap tahunnya, sepertiganya adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Sebagian dijual sebagai komoditas prostitusi atau pelacuran.
Mengapa anak-anak diinginkan untuk dijadikan pekerja seks komersial? Dalam hukum ekonomi, inilah suatu realitas supply and demand. Anak-anak dianggap masih suci dan relatif bersih dari berbagai penyakit menular seksual. Keperawanan bahkan apat menghasilkan keuntungan yang besar bagi seorang mucikari. Selain itu, anak-anak mudah dibujuk atau diiming-imingi, sehingga gampang saja disalurkan ke dalam jeratan bisnis seks komersial.

Istilah ’prostitusi anak’ sendiri adalah sebuah istilah yang ’sederhana’. Di balik istilah tersebut, terbentang sebuah jurang yang dalam dan gelap bagi hidup seorang anak. Mereka yang terjerat prostitusi, tidak hanya dijadikan objek pemuas nafsu belaka seperti di rumah-rumah pelacuran, namun juga terlibat dalam bisnis seks komersial lainnya seperti foto-foto, majalah dan film porno. Mereka juga dapat menjadi bagian dari industri pariwisata sebuah negeri, yang menawarkan ’3 S’ bagi para petualang yang hendak singgah: sun, sand and sex.

Meskipun di satu sisi, prostitusi anak tampil sebagai sebuah aktivitas berskala besar, teroganisasi dengan baik dan rapi, melibatkan tansaksi dagang antar negara bahkan juga menjadi satu variabel penting perekonomian sebuah negeri, prostitusi anak pun dapat berupa aktivitas berskala kecil dan merupakan tindakan individual semata. Dalam hal ini, dikenal sebuah istilah pocket money prostitution, ialah layanan seksual yang dilakukan oleh seorang anak untuk mendapat sejumlah uang tunai atau barang-barang lain yang berharga.

Pocket money prostitution ini dapat terjadi di mana saja, di kota kecil maupun besar, selama ada begitu banyak anak yang membutuhkan uang tunai atau mempunyai keinginan untuk memiliki barang-barang berharga, tetapi tak menemukan jalur-jalur yang ’benar’ untuk memperolehnya. Praktik prostitusi semacam ini bahkan tak hanya dilakukan oleh anak-anak miskin—yang ditengarai merupakan jumlah terbesar dari keseluruhan pekerja seks anak-anak—melainkan juga dapat dilakukan oleh anak-anak dari kalangan menengah.

Tak ayal, menyadari luasnya cakupannya, prostitusi anak pun ibarat sebuah gunung es; hanya sebagian kecil saja yang muncul di permukaan, sementara sebagian besar sisanya tersembunyi di dalam air yang dingin, gelap dan dalam. Tak mengherankan juga, tanggal 4 April setiap tahunnya dijadikan Hari Anti-Prostitusi Anak; ialah ketika semua orang di dunia diajak untuk terlibat aktif mengupayakan solusi bagi masalah prostitusi ini.

Tidakkah Kita Tergerak?
Kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, kesempatan kerja yang sangat terbatas, adalah sebagian dari penyebab maraknya prostitusi anak. Inilah situasi yang kerap terjadi di sekeliling kita, di lingkungan hidup kita yang paling dekat. Tidakkah kita tergerak untuk ikut terlibat mengatasinya?

Setidaknya, jangan biarkan lebih banyak lagi anak-anak menjadi korban. Anak-anak adalah anggota masyarakat yang paling lemah, karena mereka masih berada dalam proses tumbuh-kembang dan pembentukan diri. Lebih daripada itu, anak-anak belum mampu melindungi dirinya sendiri. Keringkihan ini, kelemahan ini, seyogianya menjadi panggilan bagi kita semua untuk bertindak dan melindungi mereka.

Yesus sendiri menitipkan pesan kepada kita, ”Biarkan anak-anak datang pada-Ku, janganlah menghalangi mereka!” (bdk. Matius 19:14). Bukankah ini adalah panggilan bagi kita? Kita-lah yang dipanggil untuk mengantar anak-anak itu kepada Yesus, Sang Sumber Kehidupan Sejati. Ketidakpedulian kita, ke-acuh tak acuh-an kita pada nasib mereka, itulah yang menghalangi anak-anak tersebut untuk sampai kepada Yesus...

Janganlah lagi pemandangan seperti ini terjadi: suatu sore di sebuah pusat perbelanjaan yang hanya berwaktu tempuh 10-15 menit saja dari rumah kita, seorang anak berdiri di sebuah sudut yang remang. Dandanan wajahnya terlalu menor untuk anak-anak seusianya; membuatnya tampak 10 tahun lebih tua dari umur yang baru di kisaran belasan tahun itu. Model baju yang dikenakannya pun terlalu menyolok bagi seorang pengunjung mal: tanktop merah jambu yang bergaris dada rendah, rok mini dari jeans berwarna biru, stocking gelap serta sepatu warna perak bertumit tinggi. Dia berdiri di sebuah sudut yang remang-remang itu, sampai seorang lelaki datang dan mengajaknya pergi.

Pada akhir malam itu, barangkali si anak perempuan tadi akan mendapat sejumlah uang untuk meneruskan hidupnya. Sanggupkah kita bertanya: hidup yang seperti apa? Dan sampai kapan? (Helena D. Justicia)
Foto: muzikmedia.com, slownews.sta.si, traffickingpersons.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...