SILENCE DAN GUGATAN TERHADAP ALLAH (DAN MANUSIA)


Image may contain: one or more people and outdoor

(Tentang Penderitaan - Tulisan Tiga)

     'Aku sudah lama membaca tentang kemartiran di buku-buku tentang kehidupan santo-santa, tapi dalam hal ini tidak ada sesuatu yang mulia. Tentunya Allah mendengar doa-doa mereka karena mereka mati. Tapi apakah Ia mendengar jeritan mereka? Aku berdoa bahwa Dia akan menjangkau mereka, tetapi bagaimana aku bisa menjelaskan keheningan-Nya ini bagi orang-orang yang telah mengalami penderitaan begitu banyak? Aku membutuhkan semua kekuatanku untuk memahaminya. Kemanusiaan begitu memilukan, Tuhan, sementara laut begitu biru.'
     Kegelisahan Padre Rodrigues itu terungkap seusai menyaksikan tiga umatnya mati disalib di tepi laut. Kegelisahan yang sama dialami Elie Wiesel, seorang survivor kamp konsentrasi Nazi. 'Tidak akan pernah kulupakan heningnya malam yang mencabut dari dalam diriku, untuk selama-lamanya, keinginan untuk hidup. Tidak pernah kulupakan saat-saat itu yang membunuh Allahku dan jiwaku dan mengubah semua impianku menjadi debu. Tidak akan pernah kulupakan semua hal ini, bahkan kalau aku dikutuk untuk hidup selama Allah itu sendiri. Tidak pernah.'
     Situasi penderitaan mendorong manusia untuk mempertanyakan Allah. Bahkan Yesus pun bertanya, 'Allahku ya, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?' Paul Budi Kleden (2006) menegaskan bahwa hanya Allah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Pertanyaan itu tidak dapat dijawab oleh refleksi teologis apapun.
     Jika pertanyaan ditujukan kepada Allah, tempat pertanyaan itu adalah dalam doa. Doa adalah ungkapan yang kreatif dan eksistensial yang lahir dari pergumulan kehidupan dan dialamatkan kepada Allah. Dengan bertanya pada Allah, manusia tidak membiarkan dirinya dihibur dengan aneka jawaban yang disampaikan manusia kepadanya.
     Penderitaan tak hanya menjadi alasan untuk bertanya tentang sikap Allah maupun keberpihakan-Nya. Bagaimana halnya dengan posisi manusia itu sendiri? Di manakah manusia di tengah penderitaan dunia? Di manakah manusia sehingga tidak dapat mencegah terjadinya hal-hal yang mengakibatkan penderitaan?
     Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, tanggung jawab manusia bagi sesamanya digugat. Sebagaimana setiap murid Kristus dipanggil untuk mewartakan salib, kematian serta kebangkitan-Nya, mereka pun dipanggil untuk menyuarakan penderitaan sesamanya.
     Pertanyaan bagi manusia pun adalah seruan bagi manusia untuk tidak menjadikan dirinya sebagai sumber penderitaan bagi sesamanya. Penderitaan mendesak manusia untuk mengambil sikap; ia harus bertanya pada dirinya sendiri tentang kontribusinya terhadap penderitaan.*
Referensi: Membongkar Derita. Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Paul Budi Kleden SVD, Ledalero, 2006)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

Pencitraan