Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2008

Hari Anti-Prostitusi Anak

Gambar
Aku Mohon, Jangan Jual Diriku... Sebut saja nama anak itu Maria. Usianya masih 15 tahun waktu itu, ketika sahabatnya menjanjikan sebuah pekerjaan yang menguntungkan serta kesempatan untuk meneruskan pendidikan. Maklum, Maria hanyalah anak sebuah keluarga miskin. Iming-iming untuk mendapat pekerjaan dan meneruskan sekolah membuatnya beranjak meninggalkan desanya. Tapi janji tinggallah janji. Sesudah sebuah perjalanan panjang yang tak diketahui tujuannya, Maria justru dipertemukan dengan seorang laki-laki separuh baya yang kemudian memperkosanya. Maria kemudian dijual kepada sebuah rumah pelacuran, tempat ia dijaga siang-malam sehingga tak dapat menjumpai dunia bebasnya lagi. Tempat itu jugalah yang mengubur semua harapan, juga mimpi akan masa depan yang tadinya tampak begitu menyenangkan. Ibarat Gunung Es Kisah Maria di atas bukanlah secarik potongan novel, atau fragmen dalam sebuah film. Kisah itu sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan seorang anak yang tinggal di Solo, Jawa Tengah. T

Hari Kartini

Gambar
100% Perempuan, 100% Indonesia Pada 11 Oktober 1901, Raden Adjeng Kartini menulis surat ini kepada Estelle Zeehandelaar: sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengangkatan derajat dan pengadaban rakyatku. Kepada orang yang sama, Kartini juga menulis: disebut bersama dengan rakyatku, dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan rakyatku! (surat 17 Mei 1902) Memang, mungkin agak sulit membayangkan situasi ini: seorang perempuan muda semacam Kartini, yang karena belitan adat dan tradisi terpaksa dikurung di dalam rumah, namun pikirannya mengembara jauh melintasi tembok empat sisi, dan hatinya tertambat pada rakyat yang lemah dan miskin. Tapi itulah Kartini! Sebuah jiwa yang besar, memang tak akan dapat dikekang oleh sekadar tembok empat sisi. Kartini bukannya tak punya pengalaman berada di tengah rakyat. Bersama ayahnya, Raden Mas Adipati Sosroningrat, yang adalah Bupati

Hari Kartini

Gambar
Impian Kartini Kita semua mengenal Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan Jepara yang lahir pada 21 April 1879. Akan tetapi, berapa banyakkah yang sungguh-sungguh membaca kumpulan buah pikirannya, Habis Gelap Terbitlah Terang? Kita umumnya mengenal Kartini sebagai seorang perempuan yang memperjuangkan kesetaraan (jender) bagi perempuan lainnya, terutama dalam hal kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Akan tetapi, jika membaca surat-surat yang ditulis Kartini kepada para sahabatnya, kita akan menyadari bahwa Kartini adalah seorang pemikir yang gelisah. Kartini tak hanya memperjuangkan sekolah bagi anak-anak perempuan. Pandangannya luas. Ia mempertanyakan banyak hal, dari tradisi pingitan yang membuatnya merasa terpenjara hingga soal agama. Kartini bahkan menggugat hal-hal tersebut, dari kehidupan perempuan Jawa waktu itu yang dunianya hanya sebatas tembok rumah, hingga 'kegagalan' agama, yang alih-alih mencegah orang untuk berbuat dosa, malahan justru membuat pengikutnya sali

Hari Kartini

Gambar
Menjadi Kartini di Rumah Kita Sendiri Setiap bulan April, kaum perempuan Indonesia mengenangkan perjuangan dan kepahlawanan Raden Ajeng Kartini. Melalui hidupnya, R.A. Kartini telah mengupayakan terpenuhinya hak-hak perempuan, terutama dalam hal pendidikan. Kini, 104 tahun setelah meninggalnya Kartini, masihkah kita seperjuangan dengan Kartini; mengusahakan dengan sungguh-sungguh agar setiap perempuan Indonesia terpenuhi hak-haknya? Rumah, Cermin Hidup Kita Ketika kita bicara tentang ’perjuangan’, atau ’hak asasi manusia’, mungkin yang kita pikirkan dan rencanakan untuk dilakukan adalah hal-hal yang besar. Seolah-olah, semua upaya kita baru bermakna jika dilakukan di lingkup yang luas, di masyarakat misalnya. Padahal, sekecil apapun, yang kita lakukan pasti memiliki makna; bahkan jika kita hanya mampu berbuat sesuatu di lingkungan rumah kita sendiri. Apa yang bisa kita lakukan di rumah? Ada apa di rumah kita yang bisa sejalan dengan visi Kartini? Kita dapat menyebut satu saja: pekerja

Hari Air Sedunia

Gambar
Setetes Air Menumbuhkan Iman yang Hidup Minggu pagi, November 2006. Seorang ketua lingkungan, yang berdomisili hanya sekitar 300 meter dari Gereja MBK, mengeluh kehabisan air. Maklum, kemarau panjang waktu itu memang menyesap habis air tanah kita. Sebagai seorang ketua lingkungan, ia pun pening memikirkan sebagian umat serta masyarakat di sekitarnya yang juga bernasib sama: tak punya air bersih untuk minum, masak dan mandi. Yang memiliki persediaan uang pun menempuh jalan pintas: membeli air mineral galon. Yang tak punya uang? Mereka terpaksa menempuh jalan lain, termasuk mengungsi ke rumah saudara yang letaknya cukup jauh. Memperhatikan Air, Mencintai Kehidupan Keprihatinan terhadap air tak hanya menjadi milik segolongan orang saja. Keprihatinan ini telah menjadi milik dunia. Hari Air Sedunia (World Water Day) pun diperingati setiap tanggal 22 Maret. Peringatan ini dilakukan sebagai suatu cara untuk memperbarui tekad dalam melaksanakan Agenda 21 yang dicetuskan pada 1992 dalam United