Hari Kartini

Impian Kartini

Kita semua mengenal Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan Jepara yang lahir pada 21 April 1879. Akan tetapi, berapa banyakkah yang sungguh-sungguh membaca kumpulan buah pikirannya, Habis Gelap Terbitlah Terang?

Kita umumnya mengenal Kartini sebagai seorang perempuan yang memperjuangkan kesetaraan (jender) bagi perempuan lainnya, terutama dalam hal kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Akan tetapi, jika membaca surat-surat yang ditulis Kartini kepada para sahabatnya, kita akan menyadari bahwa Kartini adalah seorang pemikir yang gelisah.

Kartini tak hanya memperjuangkan sekolah bagi anak-anak perempuan. Pandangannya luas. Ia mempertanyakan banyak hal, dari tradisi pingitan yang membuatnya merasa terpenjara hingga soal agama. Kartini bahkan menggugat hal-hal tersebut, dari kehidupan perempuan Jawa waktu itu yang dunianya hanya sebatas tembok rumah, hingga 'kegagalan' agama, yang alih-alih mencegah orang untuk berbuat dosa, malahan justru membuat pengikutnya saling membunuh atas namanya.

Banyak sekali ide-ide besar dalam diri seorang perempuan mungil berkain kebaya dan bersanggul sederhana itu; ide-ide besar, yang 'terempas' karena kecintaannya kepada sang ayah. Kartini mengorbankan keinginanya untuk sekolah ke Belanda, mengorbankan keinginannya untuk terus maju hanya karena tak mau meninggalkan ayahnya. Kartini bahkan merelakan dirinya dinikahi oleh Bupati Rembang yang telah memiliki istri. Orang pun lantas mencibir: itukah akhir bagi sang pemikir?

Tidak. Kartini mungkin tak mampu meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, takluk pada sebuah 'lembaga' yang bernama pernikahan, dan wafat pada usia 25 tahun saat melahirkan anak pertamanya. Akan tetapi, Kartini tak pernah kehilangan visinya. Kartini tak mampu mewujudkan visi itu sendirian, namun ia mewariskan visi itu kepada bangsanya melalui surat-surat yang ditulisnya. Kartini, sebagaimana dikatakan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, telah bekerja untuk keabadian, "Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Impian-impian Kartini, pada akhirnya bukan hanya milik seorang perempuan mungil bersanggul dan berkebaya. Impian itu menjadi milik semua orang yang menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia. Mengapa? Karena, impian Kartini adalah impian yang melampaui sekat-sekat kepentingan pribadinya sendiri. Impian itu bukan dibangun demi keuntungan dirinya semata, melainkan dibentuk oleh kepedulian dan keprihatinan terhadap nasib bangsanya. Meskipun Kartini telah wafat, impian itu tak pernah mati dan menemukan wujud nyatanya pada suatu hari dalam sejarah bangsa ini. Mampukah kita, perempuan-perempuan Indonesia, bermimpi seperti Kartini? (hdj)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...