Hari Air Sedunia

Setetes Air Menumbuhkan Iman yang Hidup

Minggu pagi, November 2006. Seorang ketua lingkungan, yang berdomisili hanya sekitar 300 meter dari Gereja MBK, mengeluh kehabisan air. Maklum, kemarau panjang waktu itu memang menyesap habis air tanah kita. Sebagai seorang ketua lingkungan, ia pun pening memikirkan sebagian umat serta masyarakat di sekitarnya yang juga bernasib sama: tak punya air bersih untuk minum, masak dan mandi. Yang memiliki persediaan uang pun menempuh jalan pintas: membeli air mineral galon. Yang tak punya uang? Mereka terpaksa menempuh jalan lain, termasuk mengungsi ke rumah saudara yang letaknya cukup jauh.

Memperhatikan Air, Mencintai Kehidupan
Keprihatinan terhadap air tak hanya menjadi milik segolongan orang saja. Keprihatinan ini telah menjadi milik dunia. Hari Air Sedunia (World Water Day) pun diperingati setiap tanggal 22 Maret. Peringatan ini dilakukan sebagai suatu cara untuk memperbarui tekad dalam melaksanakan Agenda 21 yang dicetuskan pada 1992 dalam United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, atau yang secara populer disebut sebagai Earth Summit (KTT Bumi).


Pada Sidang Umum PBB ke-47 tanggal 22 Desember 1992, melalui Resolusi Nomor 147/1993, usulan Agenda 21 diterima. Sekaligus juga, dalam waktu yang sama, ditetapkan pelaksanaan Hari Air Sedunia pada setiap tanggal 22 Maret mulai tahun 1993 di setiap negara anggota PBB termasuk Indonesia.


Tema-tema yang dipilih tiap tahun sejak 1994 meliputi: Peduli Akan Sumberdaya Air adalah Urusan Setiap Orang (1994), Wanita dan Air (1995), Air untuk Kota-kota yang Haus (1996), Air Dunia Cukupkah? (1997), Air Tanah-Sumber Daya yang tak Kelihatan (1998), Setiap Orang Tinggal di Bagian Hilir (1999), Air untuk Abad 21 (2000), Air untuk Kesehatan (2001), Air untuk Pembangunan (2002), Air untuk Masa Depan (2003), Air dan Bencana (2004), Air Untuk Kehidupan (2005), Air dan Budaya (2006) dan Mengatasi Kelangkaan Air (2007). Untuk 2008, tema yang diangkat adalah Sanitasi.

Setetes Air & Iman yang Hidup
Spiritualitas tentang air berakar jauh di Kitab Suci. Dalam Injil Yohanes 4:1-42, dikisahkan tentang Yesus yang meminta minum kepada seorang perempuan Samaria di sebuah sumur pada pukul 12 siang. Kisah ini cukup mengejutkan karena Yesus melakukan dua hal yang kontroversial: (1) percakapan dengan perempuan asing sangat dilarang oleh para rabi, (2) kontak dengan perempuan Samaria mengandung risiko menjadi tidak tahir, karena perempuan semacam itu dianggap najis oleh orang Yahudi. Selain itu, tidaklah menjadi kebiasaan umum untuk mengambil air di sumur pada jam 12 siang. Apakah perempuan Samaria itu menghindari pertemuan dengan perempuan-perempuan lain, mengingat cara hidupnya yang tidak baik? (Tafsir Injil Yohanes, Kanisius, 2008).


Perikop Injil Yohanes tersebut dapat menjadi dasar biblis untuk peringatan Hari Air, karena Yesus jelas-jelas menampakkan keberanian-Nya untuk mendobrak struktur-struktur kekuasaan dan legitimasi-legitimasi yang menindas rakyat. Yesus berani melanggar larangan para rabi, yang agaknya telah menempatkan aturan agama di atas perikemanusiaan. Bukankah semua manusia itu sama di muka Tuhan? Yesus juga berani keluar dari kebiasaan, dengan beristirahat di sumur pada jam-jam ketika umumnya tak ada orang yang mencari air. Keberanian untuk keluar dari kebiasaan itu justru membuat Yesus menemukan hal-hal yang luar biasa. Yesus bahkan berani dan rela disisihkan oleh orang lain (menjadi tidak tahir) karena berjumpa dan menjalin komunikasi dengan perempuan yang diangap najis oleh masyarakat.

Keberanian Yesus inilah yang harus kita teladani manakala kita memperjuangkan tersedianya air bersih bagi masyakat, bagi sesama kita. Maukah kita melakukannya? Beranikah kita mendobrak struktur-struktur kekuasaan politik & ekonomi untuk mengembalikan harkat & martabat sesama kita? Relakah kita meninggalkan kenyamanan-kenyamanan hidup kita, untuk mengupayakan agar orang lain dapat ‘sekadar’ hidup?

Sebuah Jalan yang Telah Disusuri
Komisi Komunikasi Sosial KWI, bekerjasama dengan Komisi Kepemudaan KWI, pernah membuat film dokumenter yang sangat menyentuh, berjudul Air Rakyat, Riwayatmu Kini. Film arahan Rm. Joseph Adi Wardaja SJ ini berkisah tentang perjuangan para petani di desa Kwarasan, Klaten (Jawa Tengah) untuk mendapatkan air bagi sawah-sawah mereka. Sebagai informasi saja, Kwarasan tadinya dikenal sebagai daerah lumbung padi. Petani dapat menanam padi sepanjang tahun karena tanah Kwarasan sangat subur dan air pun melimpah di kawasan itu. Akan tetapi, berangsur-angsur hingga tahun 2004, terjadi krisis air di daerah tersebut. Tak pernah lagi ada cukup air untuk mengairi sawah. Petani pun sering mengalami gagal panen.

Pemerintah kemudian menawakan pompa diesel untuk mengalirkan air. Yang jelas, pengoperasian pompa ini sangat memberatkan kantong petani. Selain itu, jika air disedot untuk mengairi sawah, sumur-sumur pemukiman penduduk di desa menjadi kering.

Tak lelah memperjuangkan kembalinya air bagi sawah-sawah mereka, para petani beserta aparat desa lantas melakukan penyelidikan dan memperoleh temuan berikut: sebuah pabrik air minum kemasan-lah yang telah menyesap habis air mereka. Pabrik itu membangun sumur pengeboran air di antara sumber-sumber air yang ada. Para petani pun mengajukan kasus ini kepada pemerintah daerah setempat (DPRD), bahkan menggelar unjuk rasa. Tapi apalah daya mereka. Lembaga tempat mereka mengadu itu justru adalah lembaga yang mengeluarkan rekomendasi beroperasinya pabrik air kemasan, meskipun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak dilakukan, dan pengusaha air kemasan tersebut juga belum mendapat Izin Kelayakan Lingkungan. Menjadi jelas: sebuah hubungan mesra antara bisnis dan kekuasaan telah merugikan masyarakat.


Bagi kita yang mengimani Yesus, arah gerakan iman yang konkret pun telah terpeta: peduli dan memperjuangkan tersedianya air bagi sesama, ada kalanya berarti harus bangkit dan bergerak melawan struktur-struktur yang menindas. Struktur itu dapat berupa kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, bahkan juga yang berselubungkan agama. Sungguh suatu ironi; masyarakat yang kekurangan air harus membeli air kemasan yang sesungguhnya diambil dari mata air-mata air mereka sendiri.


Berpihak kepada yang lemah dan tertindas, sama seperti Yesus, membutuhkan komitmen dan pengorbanan tersendiri. Terasa sulit, terlebih karena kuku tajam kekuasaan bisnis & politik begitu kuat menancap di mana-mana. Yang jelas, bukan kepada mereka kita harus bersujud, melainkan pada seorang bocah petani cilik yang bertanya, ”Apakah masa depanku juga telah dijual, sama seperti air dalam botol-botol kemasan itu?” (Helena D. Justicia)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...