Hari Kartini

Menjadi Kartini di Rumah Kita Sendiri

Setiap bulan April, kaum perempuan Indonesia mengenangkan perjuangan dan kepahlawanan Raden Ajeng Kartini. Melalui hidupnya, R.A. Kartini telah mengupayakan terpenuhinya hak-hak perempuan, terutama dalam hal pendidikan. Kini, 104 tahun setelah meninggalnya Kartini, masihkah kita seperjuangan dengan Kartini; mengusahakan dengan sungguh-sungguh agar setiap perempuan Indonesia terpenuhi hak-haknya?

Rumah, Cermin Hidup Kita
Ketika kita bicara tentang ’perjuangan’, atau ’hak asasi manusia’, mungkin yang kita pikirkan dan rencanakan untuk dilakukan adalah hal-hal yang besar. Seolah-olah, semua upaya kita baru bermakna jika dilakukan di lingkup yang luas, di masyarakat misalnya. Padahal, sekecil apapun, yang kita lakukan pasti memiliki makna; bahkan jika kita hanya mampu berbuat sesuatu di lingkungan rumah kita sendiri.

Apa yang bisa kita lakukan di rumah? Ada apa di rumah kita yang bisa sejalan dengan visi Kartini? Kita dapat menyebut satu saja: pekerja rumah tangga (PRT), atau yang lebih sering kita panggil dengan pembantu.

Mengapa kita perlu memikirkan PRT? Ya, kita perlu memikirkan mereka, karena banyak sekali di antara mereka yang tak terpenuhi hak-haknya. Jangankan untuk memperoeh pendidikan sebagaimana yang diperjuangkan Kartini bagi para kaumnya, seringkali PRT bahkan tidak mendapat makanan yang memadai dari majikannya.

Sebagai sebuah gambaran, Amnesty International Asia Pacific Regional Office dalam laporannya pada tahun 2007 menyatakan bahwa PRT di Indonesia yang jumlahnya mencapai 2,6 juta jiwa itu berada dalam kondisi kerja sebagai berikut.

  • Bekerja rata-rata 70 jam dalam seminggu, sebagian di antara mereka bekerja selama 21-22 jam dalam satu hari. Mereka pada umumnya tidak mendapat cuti per minggu dan tidak diperbolehkan untuk cuti, bahkan pada hari-hari libur umum.
  • Banyak majikan menahan gaji mereka. Dalam banyak kasus, gaji mereka lebih kecil daripada upah minimum regional (UMR), bahkan sejumlah PRT digaji kurang dari jumlah yang telah disepakati sebelumnya.
  • Majikan melakukan pembatasan kebebasan bergerak kepada PRT. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa PRT mendapat hambatan atas hak-hak mereka dalam mendapatkan akses terhadap kesehatan & pendidikan.
  • Sebagian mengalami insiden kekerasan fisik (penganiayaan) dan seksual (pelecehan, pemaksaan hasrat seksual bahkan hingga mengakibatkan kehamilan).
  • Banyak PRT yang mendapatkan makanan dengan kualitas yang tidak memadai. Ada PRT yang setiap hari hanya diberi makan mi, ada juga yang hingga tiga hari tidak diberi makan. Jika melakukan kesalahan dalam bekerja (misalnya menghanguskan nasi atau memecahkan piring), sejumlah PRT tidak diberi makan sebagai bentuk hukuman yang harus diterimanya.

Masih menurut laporan yang sama, hak PRT rentan terhadap pelanggaran & mereka mudah mengalami eksploitasi karena:

  • kurangnya perlindungan hukum terhadap mereka,
  • tempat kerja yang tidak terlihat (di dalam rumah),
  • statusnya yang dianggap rendah (mayoritas adalah perempuan serta berasal dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan).

Selain itu, banyak pelanggaran hak PRT tidak dilaporkan karena:

  • PRT takut kehilangan pekerjaan dan penghasilan,
  • malu untuk berbicara tentang keadaan mereka,
  • tidak tahu tempat untuk melapor,
  • kebebasan bergerak sangat terbatas.

Berdasarkan informasi mengenai laporan Amnesty International tersebut, kita dapat merefleksikan situasi rumah tangga kita sendiri. Bagaimanakah kita memperlakukan para PRT kita? Sudahkah perlakuan itu menunjukkan penghargaan kita terhadap hak-hak mereka? Jika belum, apakah alasannya? Bagaimana kita dapat memperbaikinya?

PRT pun Bermartabat
Sebagaimana manusia lainnya, PRT pun memiliki martabat. Mereka bukanlah beban bagi kita, karena mereka bekerja untuk mendapatkan upah. Bahkan, sebagian di antara mereka juga menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Memberikan upah dan kondisi kerja yang layak bagi PRT, berarti juga menjamin kelangsungan hidup keluarga PRT itu sendiri.


Kartini mengembalikan martabat anak-anak perempuan melalui pendidikan, sehingga mereka bukanlah anak-anak yang bodoh, tak berpengetahuan atau tak memiliki keterampilan. Kartini telah mengangkat anak-anak perempuan yang tadinya tersisih, terpinggirkan atau bahkan terlupakan, menjadi anak-anak yang mampu menghargai dirinya sendiri, berbuat banyak dan menjalani hidup yang berkualitas. Sama seperti Kartini, kita pun dapat mengembalikan martabat para PRT melalui pemenuhan hak-hak mereka. Jika hal itu dilakukan, kita tak hanya menjamin kelangsungan hidupnya, atau kelangsungan hidup keluarganya semata. Kita bahkan tak sekadar membawa mereka ke arah taraf hidup yang lebih baik. Jauh melampaui itu, kita telah mengembalikan wajah para PRT kepada citranya yang mulia, yakni makhluk Allah yang diciptakan sesuai dengan gambar-Nya sendiri. Semua manusia sama di mata Allah, dan inilah makna terdalam dari ’kesetaraan’ yang kerap kita dengung-dengungkan. (hdj)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...