Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2008

Menyeberangi Batas Melalui Jembatan Solidaritas

Ibu Maria (bukan nama sebenarnya) adalah umat sebuah lingkungan di MBK. Ia adalah istri seorang buruh bangunan, dan ibu dari empat orang anak. Ibu Maria tidak bekerja; waktunya sudah habis untuk mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anaknya. Gaji suaminya tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang terus bertambah. Hampir selalu, Ibu Maria berhutang kepada orang lain untuk membiayai keperluan ini-itu. Seringkali, ia harus berhutan untuk melunasi hutang yang lain. Gali lubang tutup lubang, itulah istilah yang pas untuk kehidupan ekonomi keluarga Ibu Maria.

Hanya sekitar 200 meter dari rumah Ibu Maria, tinggallah Ibu Marta (juga bukan nama sebenarnya) bersama suami dan seorang anaknya. Mereka hidup lebih dari berkecukupan. Seringkali, makanan yang mereka sediakan melebihi yang dapat mereka santap, dan pakaian yang mereka punyai melebihi yang dapat dikenakan. Tabungan mereka di bank pun bertambah dan bertambah terus; boleh dibilang, uang-lah yang bekerja bagi mereka.

Martabat Manusia yang Harus Dibela
Barangkali, Ibu Maria dan Ibu Marta bukanlah ‘satu-satunya’ di Gereja MBK. Mereka hanyalah sekadar contoh saja; sebuah gambaran bahwa di antara kita ada realitas hidup yang begitu kontras. Yang satu menjalani hidup berkelimpahan, yang lain harus hidup secara tak bermartabat.

Realitas itu bukan hanya ‘milik’ MBK, namun juga Indonesia, bahkan dunia. Dalam sebuah terbitan khususnya, Detak Bumi (2007), National Geographic melansir data ini: 2 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak uang dibandingkan dengan total Produk Domestik Bruto (PDB) dari 45 negara termiskin. Maknanya jelas: di antara mereka yang kaya dan miskin, terbentang jurang yang lebar. Akankah jurang itu terseberangi?

Alkisah, Allah menciptakan manusia karena cinta-Nya. Dibentuklah manusia serupa gambar-Nya sendiri; dianugerahlah manusia itu bumi dan segala isinya, agar bumi itu menjadi rumah bagi semua ciptaan dan mendatangkan kesejahteraan bagi segala makhluk (bdk. Kejadian 1:1-2:7). Akan tetapi, karena dosa manusia, terputuslah hubungan manusia itu dengan Allah. Namun karena begitu besar kasih Allah, Ia pun mengutus Putera-Nya untuk memulihkan kembali hubungan manusia dengan Allah (bdk. Yoh 3:16). Oleh penebusan Yesus, manusia diangkat dari dosa dan dikembalikan kepada martabatnya yang mulia, yakni ciptaan Allah.

Kisah penebusan Kristus sungguh suatu inspirasi hidup iman bagi kita. Jikalau Putera Allah sendiri mau merendahkan diri-Nya hingga setara dengan manusia; berbela rasa dengan penderitaan manusia dan memerangi dosa-dosa, mengapa kita tidak mau melakukannya? Hingga kini pun dunia belum sampai pada tujuan penciptaannya! Di belahan dunia manapun terserak kemiskinan, orang-orang yang sakit, terlantar, ditindas oleh yang kuat, kekerasan dan ketidakadilan... situasi hidup yang mestinya menjadi panggilan penebusan bagi kita.

Sama seperti Kristus telah menebus manusia, kita pun terpanggil untuk menebus hidup sesama kita. Kembali ke awal cerita tulisan ini, sampai hatikah kita melihat sesama yang harus hidup dari hutang ke hutang? Tegakah kita membiarkannya hidup tanpa martabat? Ke manapun ia pergi, orang telah mencapnya ’si penghutang’, ’si miskin’, mungkin dengan nada suara dan tatapan mata yang merendahkan. Masihkah orang menghargainya sebagai sesama ciptaan?

Solidaritas yang Membebaskan
Menyeberangi batas, merintis suatu karya penebusan... menjadi konkret melalui satu kata ini: solidaritas! Solidaritas adalah kesetiakawanan, suatu keputusan untuk senasib dan sepenanggungan dengan mereka yang lemah, miskin dan tertindas. Belas kasih tak cukup hanya dengan amal kasih dan pemberian-pemberian; belas kasih menuntut keterlibatan konkret dalam hidup sesama kita. Dengan demikian, yang lemah dan yang kuat akan bersama-sama menciptakan suatu ’langit yang baru dan bumi yang baru’, sebuah ruang bagi semua. Tak ada lagi batas, tak ada lagi jurang yang memisahkan.

Satu bentuk solidaritas yang dapat dilakukan adalah solidaritas ekonomi. Yang lemah dan yang kuat secara bersama-sama menjalani suatu sistem perekonomian yang adil. Di tingkat praksis, bentuknya dapat berupa layanan jasa keuangan yang berorientasi pada kesejahteraan bersama. Satu di antaranya adalah koperasi.

Tentang koperasi ini, ada anggapan yang keliru: koperasi dibuat hanya untuk rakyat miskin. Bukankah tak pernah tersedia dana bagi si miskin? Karena itulah mereka ikut koperasi! Anggapan ini membuat enggan orang-orang yang punya cukup dana untuk terlibat dalam usaha koperasi. Mereka lebih suka membungakan uang di bank atau menanamkannya dalam bentuk-bentuk investasi lainnya.

Terlibat dalam usaha koperasi bukan hanya soal menyimpan dan membungakan uang, sehingga koperasi menjadi satu pilihan di antara berbagai pilihan jenis investasi. Koperasi adalah suatu usaha bersama; dari, oleh dan untuk anggotanya. Terlibat dalam koperasi berarti memilih sikap untuk percaya dan berdiri di atas kekuatan sendiri (tidak tergantung/mengandalkan kekuatan di luar diri), tidak berorientasi pada keuntungan diri sendiri , menolak komersialisasi dan budaya konsumtif, serta membudayakan demokratisasi.

Pendek kata, berkoperasi berarti mendukung prinsip-psinsip perekonomian yang adil. Berkoperasi berarti secara sadar menyeberangi jurang antara kaya dan miskin, antara yang kuat dan lemah. Dengan demikian, kita berpartisipasi secara aktif dalam karya penciptaan Allah, dalam kesatuan dengan yang lain sebagai ciptaan Allah (Nota Pastoral KWI 2006, 21).
Dalam Nota Pastoral (NP) yang sama, ditekankan bahwa koperasi merupakan satu bentuk aktivitas yang patut didukung (NP, 32). Sudahkah kita, sebagai Gereja, memberikan perhatian pada jenis usaha ini? Masihkah kita melulu bertahan dengan upaya-upaya karitatif/amal kasih, bukannya berusaha untuk memberdayakan komunitas kita? Bukankah amal kasih semacam itu juga merupakan satu bentuk ketergantungan, alih-alih pembebasan? Inilah saat yang tepat untuk merefleksikan gerak langkah menggereja kita!

Bagi orang yang miskin, koperasi adalah harapan; bagi orang yang kaya, koperasi adalah panggilan. Buah bagi semuanya adalah kegembiraan bersama dalam sebuah rumah yang bernama Kerajaan Allah. Selamat Hari Koperasi! (Helena D. Justicia, anggota Credit Union Bererod Gratia-KWI)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...