Seberkas Pelangi dan Janji yang Diingkari
Dalam kitab Kejadian, seusai air bah menggenangi bumi, Allah
mengikat perjanjian dengan manusia melalui Nabi Nuh. Allah menjadi Allah bagi
semua orang. Ia menginginkan keselamatan manusia, dan memampukan manusia untuk
mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab. Allah juga mempersiapkan manusia
untuk mengadakan persatuan Ilahi dengan Roh Kudus. Sebagai tanda perjanjian
itu, Allah membuat pelangi di langit. Pelangi menjadi tanda rekonsiliasi antara
Allah dengan manusia.
Ribuan tahun kemudian, diperkirakan sebanyak 26 juta
pengguna Facebook mengubah fotonya dengan menggunakan fitur pelangi
(VOA Indonesia, 3/7). Itu adalah tanda dukungan mereka bagi komunitasLesbian,
Gay, Bisexual and Transgender (LGBT) serta perkawinan sejenis
(homoseksual). Pelangi adalah warna simbolis gerakan persamaan hak kaum LGBT.
Banyak juga di antaranya yang mem-posting status dengan hashtag #LoveWins,
sebagai ungkapan kegembiraan mereka.
Dukungan itu tak muncul tiba-tiba. Pemicunya adalah
keputusan Mahkamah Agung AS yang melegalkan perkawinan sejenis di 50 negara
bagian Amerika pada 26 Juni 2015. Sebelumnya, perkawinan sejenis dilarang di 14
negara bagian. Dengan keputusan itu, Amerika menjadi negara ke-21 di dunia yang
melegalkan perkawinan sejenis.
Tak sedikit orang Katolik yang juga mendukung gerakan LGBT
serta perkawinan sejenis. Coba saja telisik pertemanan di Facebook kita.
Bisa jadi, umat paroki sendiri atau saudara dekat kita termasuk para pendukung
itu.
Membicarakan perkawinan sejenis berarti bicara tentang
seksualitas, yang terkait dengan martabat manusia (Katekismus Gereja
Katolik/KGK, 2357-2359). Pertama, manusia diciptakan ‘laki-laki dan
perempuan’ (lih. Kej 1:27). Kedua, seksualitas diangkat ke tingkat yang melampaui
biologis-fisik, sehingga perkawinan merupakan persekutuan pribadi (lih. Kej
2:24). Ketiga, kesatuan laki-laki dan perempuan merupakan martabat
sakramen (bdk. Ef 5:32), dan adanya keturunan adalah partisipasi khusus dalam
karya penciptaan Allah (lih. Kej 1:28).
Tindakan-tindakan homoseksual, dengan demikian, dapat
dikatakan berlawanan dengan pandangan Gereja Katolik. Kendati homoseksualitas
diakui muncul dalam berbagai waktu dan kebudayaan yang bervariasi, Kitab Suci
menilainya sebagai penyelewengan besar (bdk. Kej 19:1-29, Rm 1:24-27, 1 Kor
6:10, 1 Tim 1:10). Perbuatan itu tidak dapat dibenarkan (KGK, 2357).
Sejumlah Dokumen Gereja Katolik mengakui bahwa sebagian
penyebab homoseksualitas bukanlah pilihan bebas. Kongregasi Ajaran Iman dalam
pertimbangannya (2003) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang memiliki
kecenderungan homoseksual ‘harus diterima dengan hormat, belas kasih dan
kepekaan perasaan. Setiap gejala diskriminasi yang tidak adil dalam hal ini
harus dihindarkan’. Di sisi lain, dalam dokumen yang sama, Kongregasi juga
menyerukan bahwa umat Katolik mempunyai ‘kewajiban untuk melawan dengan jelas
dan tegas’. Di tempat undang-undang melegalkan perkawinan sejenis, umat Katolik
‘tidak boleh terlibat dalam kerja sama formal apapun di dalam pelaksanaan atau
penerapan undang-undang’.
Laki-laki dan perempuan berkecenderungan homoseksual, sama
seperti semua orang lain, dipanggil untuk hidup secara murni (KGK, 2359).
Mereka diajak untuk melakukan pengendalian diri, menuju kemerdekaan batin,
mendekatkan diri kepada Allah dan mempersatukan kesulitan mereka dengan kurban
salib Tuhan (KGK, 2358). Karena itulah, Kongregrasi Ajaran Iman melalui
suratnya (1986) menegaskan pentingnya perhatian pastoral bagi pribadi-pribadi
homoseksual, agar mereka dapat mencapai kesejahteraan yang paling penuh.
Allah tak pernah mengingkari janji-Nya. Ia senantiasa
menginginkan keselamatan bagi manusia. Manusia-lah yang kerap ingkar, ketika ia
menyerah pada penderitaan, yang berarti juga mengingkari Allah di dalam
dirinya. (Helena D. Justicia)
Komentar
Posting Komentar