Postingan

Menampilkan postingan dari 2008

Peringatan Hari Pangan Sedunia 2008

Gambar
Mengubah Lingkaran Setan Menjadi Lingkaran Rahmat Kita membutuhkan pangan untuk hidup. Dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, banyak cara yang kita lakukan; dari yang mulia hingga yang justru merendahkan martabat kita sendiri. Inilah yang akan kita coba refleksikan melalui tema Hari Pangan Sedunia (HPS) 2008, yakni Hak Atas Pangan: Ketahanan Pangan & Lingkungan Hidup. Tema tersebut jelas menyatakan keterkaitan antara ketahanan pangan dan lingkungan hidup. Apa yang selama ini telah kita lakukan sehubungan dengan kedua hal itu? Sungguhkah kita telah menjaga keharmonisan hubungan antara ketahanan pangan & lingkungan hidup? Ataukah kita justru merusak hubungan di antara keduanya? Sebuah Lingkaran Setan Ketahanan pangan (food security), menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Thn. 2002 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan dibentuk

Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2008

Gambar
Menyeberangi Batas Melalui Jembatan Solidaritas Ibu Maria (bukan nama sebenarnya) adalah umat sebuah lingkungan di MBK. Ia adalah istri seorang buruh bangunan, dan ibu dari empat orang anak. Ibu Maria tidak bekerja; waktunya sudah habis untuk mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anaknya. Gaji suaminya tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang terus bertambah. Hampir selalu, Ibu Maria berhutang kepada orang lain untuk membiayai keperluan ini-itu. Seringkali, ia harus berhutan untuk melunasi hutang yang lain. Gali lubang tutup lubang, itulah istilah yang pas untuk kehidupan ekonomi keluarga Ibu Maria. Hanya sekitar 200 meter dari rumah Ibu Maria, tinggallah Ibu Marta (juga bukan nama sebenarnya) bersama suami dan seorang anaknya. Mereka hidup lebih dari berkecukupan. Seringkali, makanan yang mereka sediakan melebihi yang dapat mereka santap, dan pakaian yang mereka punyai melebihi yang dapat dikenakan. Tabungan mereka di bank pun bertambah dan bertambah terus; b

Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2008

Gambar
Tuhan dalam Wajah Ekonomi Kita Kemiskinan mudah sekali kita temui. Kemiskinan tampak di dunia sekitar kita: perumahan padat dan kumuh, para pengemis, pengamen, gelandangan, anak-anak jalanan, anak-anak yang ’menjual diri’ untuk sejumlah uang... Kemiskinan juga terlihat saat kita hendak mengikuti misa: kampung kumuh di sebelah gereja kita, orang-orang yang meminta-minta, anak-anak yang menjual rempeyek atau ’menjaga’ parkir, umat yang mengantre untuk mendapat bantuan sosial, masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan atau asupan gizi... Kemiskinan bahkan mungkin menjadi potret lingkungan terdekat kita: anak-anak yang malnutrisi dan putus sekolah, orangtua yang sakit dan terlantar, orang-orang yang terjerat hutang, mereka yang tak mampu membiayai kesehatannya, pengangguran, bahkan kriminalis yang terpaksa mencopet atau merampok hanya karena lapar. Wajah Ekonomi Kita Nota Pastoral (NP) KWI 2006, Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan – Keadilan Bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi , se

Hari Anti-Prostitusi Anak

Gambar
Aku Mohon, Jangan Jual Diriku... Sebut saja nama anak itu Maria. Usianya masih 15 tahun waktu itu, ketika sahabatnya menjanjikan sebuah pekerjaan yang menguntungkan serta kesempatan untuk meneruskan pendidikan. Maklum, Maria hanyalah anak sebuah keluarga miskin. Iming-iming untuk mendapat pekerjaan dan meneruskan sekolah membuatnya beranjak meninggalkan desanya. Tapi janji tinggallah janji. Sesudah sebuah perjalanan panjang yang tak diketahui tujuannya, Maria justru dipertemukan dengan seorang laki-laki separuh baya yang kemudian memperkosanya. Maria kemudian dijual kepada sebuah rumah pelacuran, tempat ia dijaga siang-malam sehingga tak dapat menjumpai dunia bebasnya lagi. Tempat itu jugalah yang mengubur semua harapan, juga mimpi akan masa depan yang tadinya tampak begitu menyenangkan. Ibarat Gunung Es Kisah Maria di atas bukanlah secarik potongan novel, atau fragmen dalam sebuah film. Kisah itu sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan seorang anak yang tinggal di Solo, Jawa Tengah. T

Hari Kartini

Gambar
100% Perempuan, 100% Indonesia Pada 11 Oktober 1901, Raden Adjeng Kartini menulis surat ini kepada Estelle Zeehandelaar: sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengangkatan derajat dan pengadaban rakyatku. Kepada orang yang sama, Kartini juga menulis: disebut bersama dengan rakyatku, dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan rakyatku! (surat 17 Mei 1902) Memang, mungkin agak sulit membayangkan situasi ini: seorang perempuan muda semacam Kartini, yang karena belitan adat dan tradisi terpaksa dikurung di dalam rumah, namun pikirannya mengembara jauh melintasi tembok empat sisi, dan hatinya tertambat pada rakyat yang lemah dan miskin. Tapi itulah Kartini! Sebuah jiwa yang besar, memang tak akan dapat dikekang oleh sekadar tembok empat sisi. Kartini bukannya tak punya pengalaman berada di tengah rakyat. Bersama ayahnya, Raden Mas Adipati Sosroningrat, yang adalah Bupati

Hari Kartini

Gambar
Impian Kartini Kita semua mengenal Raden Adjeng Kartini, seorang perempuan Jepara yang lahir pada 21 April 1879. Akan tetapi, berapa banyakkah yang sungguh-sungguh membaca kumpulan buah pikirannya, Habis Gelap Terbitlah Terang? Kita umumnya mengenal Kartini sebagai seorang perempuan yang memperjuangkan kesetaraan (jender) bagi perempuan lainnya, terutama dalam hal kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Akan tetapi, jika membaca surat-surat yang ditulis Kartini kepada para sahabatnya, kita akan menyadari bahwa Kartini adalah seorang pemikir yang gelisah. Kartini tak hanya memperjuangkan sekolah bagi anak-anak perempuan. Pandangannya luas. Ia mempertanyakan banyak hal, dari tradisi pingitan yang membuatnya merasa terpenjara hingga soal agama. Kartini bahkan menggugat hal-hal tersebut, dari kehidupan perempuan Jawa waktu itu yang dunianya hanya sebatas tembok rumah, hingga 'kegagalan' agama, yang alih-alih mencegah orang untuk berbuat dosa, malahan justru membuat pengikutnya sali

Hari Kartini

Gambar
Menjadi Kartini di Rumah Kita Sendiri Setiap bulan April, kaum perempuan Indonesia mengenangkan perjuangan dan kepahlawanan Raden Ajeng Kartini. Melalui hidupnya, R.A. Kartini telah mengupayakan terpenuhinya hak-hak perempuan, terutama dalam hal pendidikan. Kini, 104 tahun setelah meninggalnya Kartini, masihkah kita seperjuangan dengan Kartini; mengusahakan dengan sungguh-sungguh agar setiap perempuan Indonesia terpenuhi hak-haknya? Rumah, Cermin Hidup Kita Ketika kita bicara tentang ’perjuangan’, atau ’hak asasi manusia’, mungkin yang kita pikirkan dan rencanakan untuk dilakukan adalah hal-hal yang besar. Seolah-olah, semua upaya kita baru bermakna jika dilakukan di lingkup yang luas, di masyarakat misalnya. Padahal, sekecil apapun, yang kita lakukan pasti memiliki makna; bahkan jika kita hanya mampu berbuat sesuatu di lingkungan rumah kita sendiri. Apa yang bisa kita lakukan di rumah? Ada apa di rumah kita yang bisa sejalan dengan visi Kartini? Kita dapat menyebut satu saja: pekerja

Hari Air Sedunia

Gambar
Setetes Air Menumbuhkan Iman yang Hidup Minggu pagi, November 2006. Seorang ketua lingkungan, yang berdomisili hanya sekitar 300 meter dari Gereja MBK, mengeluh kehabisan air. Maklum, kemarau panjang waktu itu memang menyesap habis air tanah kita. Sebagai seorang ketua lingkungan, ia pun pening memikirkan sebagian umat serta masyarakat di sekitarnya yang juga bernasib sama: tak punya air bersih untuk minum, masak dan mandi. Yang memiliki persediaan uang pun menempuh jalan pintas: membeli air mineral galon. Yang tak punya uang? Mereka terpaksa menempuh jalan lain, termasuk mengungsi ke rumah saudara yang letaknya cukup jauh. Memperhatikan Air, Mencintai Kehidupan Keprihatinan terhadap air tak hanya menjadi milik segolongan orang saja. Keprihatinan ini telah menjadi milik dunia. Hari Air Sedunia (World Water Day) pun diperingati setiap tanggal 22 Maret. Peringatan ini dilakukan sebagai suatu cara untuk memperbarui tekad dalam melaksanakan Agenda 21 yang dicetuskan pada 1992 dalam United