SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH


Image may contain: one or more people, mountain, outdoor, nature and water
(Tentang Penderitaan - Bagian Satu)

     Tubuh yang penuh luka itu tergantung di kayu salib. Serdadu lantas menyiramkan air panas ke sekujur tubuh itu. Sementara itu, di tempat yang berbeda, sejumlah orang dibungkus tikar jerami, lalu diletakkan di atas panggangan api. Beberapa lainnya berdiri di atas tumpukan kayu dengan tangan terikat, lalu dibakar hidup-hidup. Di dalam basecamp, sejumlah orang digantung terbalik, urat nadi di lehernya disayat kecil sehingga darah menetes perlahan. Akan tiba suatu saat ketika darah tak lagi mampu mengalir ke otak.
     Entah siksaan apa lagi yang dialami sejumlah orang Nasrani itu. Entah juga mana yang lebih menyiksa: mereka yang mengalaminya atau yang dipaksa untuk menyaksikannya. Mokichi, seorang di antara mereka yang disalib di tepi laut, butuh waktu empat hari untuk mati. Penduduk desa menyaksikan semuanya, pun pada saat ketika Mokichi menyenandungkan kidung terakhirnya.
     Pertanyaan klasik Epikur pun seakan mengalun bersama senandung itu. ‘Apakah Allah mau mengatasi keburukan tetapi Dia tidak dapat melakukannya? Atau Dia dapat tetapi tidak melakukannya? Atau Dia tidak dapat dan juga tidak mau melakukannya? Kalau Dia dapat tetapi tidak mau, Dia lemah. Kalau Dia dapat tetapi tidak mau, Dia jahat. Kalau Dia tidak dapat dan tidak mau, Dia sekaligus jahat dan lemah. Kesemuanya itu bukan Allah. Tetapi kalau Dia dapat dan mau, hal yang patut untuk Allah, dari mana asal keburukan dan mengapa Ia tidak meniadakannya?’
     Penderitaan melahirkan protes terhadap Allah yang membiarkan penderitaan terjadi. Dalam kerangka trinitaris, dalam penderitaan, kita tidak hanya menemukan situasi saat manusia berhadapan dengan Allah, melainkan juga Allah berhadapan dengan Allah. Teolog Moltman menyatakan bahwa salib adalah peristiwa Allah menyerahkan Allah, Allah ditinggalkan oleh Allah dan Allah mencari wajah Allah.
     Ketika Allah pun menderita, kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa Allah-lah yang menciptakan penderitaan atau membuat manusia menderita. Allah yang menderita adalah Allah yang berada di pihak korban.
     Langkah Allah untuk masuk ke dunia adalah sebuah keputusan cinta. Allah tidak menghendaki apalagi menciptakan penderitaan, namun Ia tidak mengelak saat penderitaan ditimpakan kepada-Nya sebagai akibat dari usaha-Nya untuk mengembalikan manusia untuk bersahabat dengan Allah dan sesamanya.
     Ada penderitaan yang ditanggung sebagai akibat dari sebuah sikap cinta dan solider.

Referensi: Membongkar Derita. Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi (Paul Budi Kleden SVD, Ledalero, 2006)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SILENCE DAN GUGATAN TERHADAP ALLAH (DAN MANUSIA)

Hari Kartini

Pencitraan