Selama Kita (Masih) Manusia...

Kita seringkali lelah melihat situasi relasi antar pemeluk agama di Indonesia. Stigma/cap buruk, prasangka negatif dan kebencian mudah sekali merebak. Kita terkejut, mengetahui bahwa orang-orang yang menyatakan diri bertuhan ternyata mampu merusak & menghancurkan kehidupan (= melawan Tuhan), melalui aksi-aksi kekerasan bahkan saling bunuh di antara mereka.

Pengalaman traumatis itu membentuk sikap kita terhadap umat yang berbeda agama. Kita tak lagi bisa menghargai satu sama lain. Kita menjauh, membuat batasan jarak dan menolak untuk menjalin persahabatan. Kita merasa aman & nyaman berelasi hanya dengan umat yang seagama dengan kita saja. Kita menjadi skeptis terhadap hubungan antar pemeluk agama, tak percaya bahwa relasi ini dapat dibangun, bahkan membuahkan keselamatan.

Inspirasi Kitab Suci

Alkisah, Yesus pada suatu hari berada di daerah pesisir pantai Tirus & Sidon, sebuah wilayah di utara Palestina. Di tempat itu, Yesus bertemu dengan seorang perempuan Kanaan, yang meminta Yesus mengusir roh jahat dari tubuh anaknya.

Alih-alih mengabulkan permintaan itu, Yesus menyampaikan kata-kata yang menyakitkan, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (bdk. Mat 15:24-26).

Seandainya kita yang mendapat jawaban itu, apa respon kita? Tersinggung, sedih atau marah? Yang jelas, perempuan Kanaan itu menjawab, “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.” (bdk. Mat 15:27). Jawaban yang luar biasa! Yesus pun tampaknya terkesan dan memuji perempuan itu, “Hai Ibu, besar imanmu!”, lalu menyembuhkan anaknya.

Pujian lain yang pernah diucapkan Yesus ditujukan kepada seorang laki-laki di Kapernaum. Karena laki-laki itu adalah seorang perwira, sangat mungkin ia adalah orang Romawi, bukan Yahudi. Perwira itu, melalui tua-tua Yahudi, meminta Yesus untuk menyembuhkan hambanya yang sakit.

Yang menarik, perwira tersebut merasa diri tak layak & enggan menyusahkan Yesus sehingga berujar, “Katakan saja sepatah kata, maka hambaku akan sembuh.” Mendengar itu Yesus heran sampai-sampai berkata, “Iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai sekalipun di antara orang Israel.” (bdk. Luk. 7:7-10).

Iman yang Menyelamatkan

Melalui perjumpaan Yesus dengan perempuan Kanaan & perwira Kapernaum, ada beberapa hal yang dapat kita renungkan. Pertama, kendati kedua orang tersebut bukan Yahudi, mereka mampu melihat keselamatan yang datang dari Yesus. Kita dapat mengatakan, perempuan Kanaan maupun perwira Kapernaum itu barangkali pernah mendengar ‘sepak terjang’ Yesus. Dalam situasi Palestina waktu itu, ketika rakyat berada di bawah jajahan Romawi serta ditelikung oleh para pemimpin agama yang sewenang-wenang dan korup, kehadiran seseorang seperti Yesus memang dirindukan; seseorang yang mampu mengajar tentang Allah & kehidupan, menerbitkan harapan, mengasihi (menolak tindak kekerasan), menghibur yang berduka, membela yang lemah dan menyembuhkan yang sakit.

Perempuan Kanaan & perwira Kapernaum bukanlah orang Yahudi, yang berarti tidak terikat pada agama, tradisi dan hukum-hukum Yahudi. Mereka bahkan tidak diharapkan untuk mengerti misi perutusan Yesus. Meskipun demikian, mereka mengetahui bahwa Yesus dapat meringankan penderitaan manusia sehingga datang kepada-Nya. Tindakan-tindakan konkret Yesus dalam membela martabat manusia-lah yang agaknya menarik kedua orang itu untuk meminta bantuan Yesus.

Kedua, kendati berbeda secara agama, tradisi & hukum, relasi antara perempuan Kanaan & perwira Kapernaum dengan Yesus membuahkan keselamatan. Bukankah anak perempuan Kanaan & hamba perwira Kapernaum itu disembuhkan? Seseorang yang disembuhkan berarti dipulihkan hidup & martabatnya, sehingga dapat menjadi ciptaan Allah secara ‘penuh’. Dalam bahasa psikologi, seseorang yang disembuhkan berarti dibantu untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Inilah keselamatan dan arti yang sebenarnya: mengembalikan manusia kepada martabatnya yang mulia sebagai citra Allah.

Sebagai kontras, di antara bangsa Yahudi sendiri, keselamatan seringkali tak terjadi. Sebagai contoh, Yesus ditolak di kampung halamannya sendiri, Nazaret, sehingga penulis Injil menegaskan: karena ketidakpercayaan mereka, tidak banyak mukjizat diadakan-Nya di situ (lih. Mat. 13:58).

Melalui butir- butir permenungan itu, tampaknya kita dapat mengatakan hal ini: bukan sejarah, asal-usul, keturunan, bangsa bahkan agama yang dapat menyelamatkan dunia dan manusia, melainkan iman kepada Allah. Allah yang bagaimana? Allah yang berbelas kasih, mencintai, dan mengantar semua orang pada keselamatan. Ini jugalah yang menjadi tugas perutusan kita di dunia, karena kita adalah citra Allah!

Hidup yang Diubah

Pengalaman tak pernah salah, kata orang. Memang benar, namun pengalaman dapat mengarahkan orang pada suatu sikap atau tindakan tertentu, yang bisa sangat subjektif atau personal, bahkan tak selalu bisa dibenarkan. Pengalaman negatif yang tidak mengenakkan dapat diubah menjadi positif dan menggembirakan jika kita sendiri mau berubah. Kita menjadi pribadi yang bebas dari belenggu masa lalu, menjadi kantong yang baru bagi anggur yang baru (bdk.Mat 9:17), dan dengan bantuan rahmat Allah, mampu mewujudkan suatu langit yang baru dan bumi yang baru (bdk. Why 21:1-4).

Kembali pada persoalan relasi antar umat beragama, semoga kita menjadi pribadi-pribadi yang berani meneladani Kristus sendiri: membuka diri bagi semua orang, mau berjalan bersama mereka dan dengan demikian membawa keselamatan. Di tengah situasi relasi umat antar agama yang rapuh & mudah diporak-porandakan, kita mau menjadi pribadi-pribadi yang mampu menghadirkan Allah, menghargai kehidupan, menerbitkan harapan, mengasihi sesama, menolak tindak kekerasan, menghibur yang berduka, membela yang lemah dan menyembuhkan yang sakit.

Menyatukan diri dengan keprihatinan, harapan & pergulatan Gereja Katolik sendiri: tak mungkin kita mohon kepada Allah, Bapa semua orang, bila kita menolak bersikap sebagai saudara terhadap orang-orang tertentu yang diciptakan menurut gambar Allah. Maka dari itu Gereja menolak setiap diskriminasi atau penindasan terhadap manusia karena alasan ras atau warna, status atau agama sebagai pertentangan dengan semangat Kristus. Maka dari itu Konsili Suci, mengikuti jejak Rasul Petrus dan Paulus mendesak agar orang kristiani untuk ‘di tengah kaum kafir menjalani hidup keteladanan’. Dan jika bisa dan tergantung pada mereka, hidup damai dengan semua orang, sehingga mereka sungguh anak Bapa yang ada di surga. (Nostra Aetate, artikel 5).*

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH