SILENCE DAN BERAKHIRNYA SIMBOL


     Dalam film Silence, pengingkaran iman ditandai dengan menginjak benda-benda rohani. Di tanah, diletakkan plakat bergambar Yesus atau Bunda Maria, dan umat Nasrani diminta untuk menginjaknya.
     Tentu saja, banyak yang menolak sehingga menuai akibatnya: disalib di tepi laut agar dihantam gelombang, dibakar api di atas panggangan, atau yang mungkin tak terlalu menyiksa, dipenggal kepalanya. Mereka yang menginjak gambar-gambar itu akan dibebaskan dari siksaan.
     Ketika Mokichi, seorang Nasrani bertanya pada Padre Rodrigues tentang apa yang harus dilakukan, Padre menjawab tegas, "Injak saja."
     Itulah yang dilakukan Mokichi dan dua Nasrani lainnya. Tapi tentu saja, Inoue yang keji tidak kekurangan akal. Gambar Yesus yang telah diinjak pun disingkirkan, diganti dengan salib dengan corpus Christi, dan para Nasrani juga diminta mengucapkan bahwa Perawan Suci adalah seorang pelacur. Tak ada yang sanggup melakukannya. Salib pun menyambut mereka.
     Anthony Bridge, penulis artikel 'The Life and Death of Symbols', menyatakan, "Dalam kesenian (dan saya tegaskan demikian juga dalam teologi) suatu gaya akan hidup selama simbol-simbol terus digunakan sebagai simbol yang menunjuk kepada sesuatu yang lebih jauh daripada dirinya sendiri. Segera setelah sebuah simbol digunakan untuk kepentingannya sendiri dan diperlakukan sebagai fakta--artinya sebagai realitas yang sudah cukup dalam dirinya sendiri--simbol itu mati."
     Barangkali itulah yang membedakan Mokichi yang segera menjadi martir, dengan Kichijiro yang berkali-kali menginjak gambar Yesus dan berkali-kali pula mengaku dosa karenanya. Barangkali itu jugalah yang dapat menjadi refleksi bagi kita, kaum beriman Kristiani, yang gemar mengumpulkan simbol dalam rupa benda-beda rohani, apakah itu patung, salib, bahkan juga skapulir. Selama benda-benda itu terkoneksi dengan suatu hal yang jauh dari dirinya--para ahli psikologi sosial menyebutnya sebagai 'interaksionisme simbolik'--ia akan menemukan maknanya. Jika koneksi itu hilang, bukan hanya simbol, namun juga iman, akan mati. Kecuali jika kita menemukan simbol lain untuk menggantikannya, misalnya dengan tak lagi lekat pada benda-benda, melainkan pada penderitaan pun kegembiraan hidup di dunia.
     Barangkali kesemua itu pulalah yang menegaskan bahwa kita, Gereja, selalu perlu untuk relevan dan signifikan dengan zaman. (hdj)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SILENCE DAN GUGATAN TERHADAP ALLAH (DAN MANUSIA)

Hari Kartini

Pencitraan