Kasih Yang Sempurna

Halim nama lelaki itu. Empat puluh dua tahun usianya, ketika ia tergolek lemah di atas pem­baringan RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kanker liver stadium akhir, begitu informasi yang diberikan dokter. Istrinya, Nuning, serta kedua anak balitanya, Filo dan Sofi, tidak mengeta­huinya. Mereka hanya mengerti bahwa Ayah Halim sedang sakit, dan perlu didoakan supaya lekas sembuh.

Nuning, Filo dan Sofi tidak sendirian. Kabar menyebar dengan cepat, menggugah para sahabat untuk men­jenguk dan menjagai Halim secara bergantian. Sejumlah kawan mengupayakan pengobatan gratis, serta dana untuk membiayai keperluan yang harus dibayar. Ada juga yang menyediakan tempat menginap bagi Nuning dan anak-anaknya, karena pergi-pulang RSCM-Bekasi bukan hal yang mudah untuk dijalani setiap hari.

Halim sendiri, kendati tak menge­tahui dengan pasti, menyadari bahwa banyak hal dilakukan untuknya. Tak henti-henti ia mengucapkan terima kasih dengan lemah dan terbata-bata, melalui bibirnya yang kering dan pecah-pecah. Teman yang berjaga di sampingnya selalu siap mengoleskan madu di bibir itu. Jika haus, karena Halim terlalu lemah untuk dapat minum sendiri, teman di sampingnya akan menyodorkan botol bayi yang berisi sirup merah atau air putih. Halim akan menyedot cairan itu sebagaimana layaknya bayi, membuat siapapun tertunduk haru.

Mereka yang rela hati akan bergantian membersihkan sudut-sudut matanya, mengusap wajahnya dengan kain halus, atau menyeka darah yang keluar dari hidungnya akibat gesekan selang oksigen. Halim tak lagi mengenakan pakaian dengan sempurna. Selembar selimut ditutupkan di atas dadanya yang terbuka. Teman-teman dengan sabar berusaha membersihkan badannya, mengelap lengannya yang ditusuki jarum infus atau memijiti kakinya yang tak bisa bergerak bebas.

Pria ini, semasa kuliah adalah aktor panggung yang perkasa. Ia mampu memerankan karakter apapun, mem­bacakan puisi, juga memainkan gitar dan bernyanyi dengan memukau. Halim juga seorang pelukis. Ia pun aktif dalam klub pecinta alam dan mengajarkan kepada para yuniornya tentang cara-cara bertahan hidup di alam liar. Kini, di hadapan para saha­batnya, ia menunjukkan upaya keras­nya untuk bertahan hidup di tengah sakitnya.

Pada suatu perjumpaan, Rm. Heribertus Supriyadi O.Carm menyam­paikan bahwa cinta terhadap seseorang menempati sejumlah tingkat. Tingkat yang paling dasar adalah cinta yang disebabkan oleh penampilan fisik. Tingkat yang selanjutnya adalah cinta yang timbul karena sifat-sifat seseorang. Tingkat yang lebih tinggi adalah cinta terhadap kepribadian, yang lebih menetap dan bertahan ketimbang sifat. Yang paling tinggi tingkatnya adalah cinta karena mar­tabat yang dimiliki seseorang. Pada tingkat tertinggi ini, orang tak lagi mempersoalkan rupa, sifat atau ke-pribadian. Seseorang dicintai karena martabatnya sebagai manusia.

Cinta pada tingkatan tertinggi adalah ungkapan kasih yang sempurna; kasih yang diberikan kepada merekayang tak mampu membalasnya. Inilah kasih yang diajarkan oleh Yesus sendiri, dan diteladankan oleh orang-orang kudus Gereja, di antaranya oleh Ibu Teresa dari Kalkuta, sehingga gelandangan sekarat berkata kepanya, "Terima kasih karena memungkinkanku mati sebagai manusia."

Kematian pun pada akhirnya men­jemput Halim. Kepergiannya tak sia-sia, sebab ia meninggalkan sebuah pengalaman kasih yang tak terlupakan bagi para sahabatnya. (Helena D. Justicia)


Sumber: http://www.parokimbk.or.id/warta-minggu/artikel/14-04-2013/kasih-yang-sempurna/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...