Madah Pujian dan Mereka yang Ditinggalkan

Mendung bergayut di langit pagi itu. Hanya sekitar satu jam berkendara saja dari Jakarta, rombongan berjumlah lima mobil sampai di Balaraja, Tangerang. Keluar pintu tol, memasuki kota, perjalanan diteruskan menuju kampung Kresek. Jalanan sempit dan rusak. Selokan pinggir jalan tak dibuat dengan baik, dan air kehitaman menggenang di dalamnya. Sampah teronggok di sana-sini, bahkan juga di tepian jalan raya. Pasar yang dilewati dalam perjalanan, keadaannya kumuh, becek dan banyak lalat beterbangan. Pemandangan itu menimbulkan pertanyaan di benak: di daerah yang hanya satu jam saja dari Jakarta, mengapa kondisinya begitu buruk?

Realitas yang Terkuak dalam Perjumpaan
Pertanyaan itu kian jelas setelah rombongan tiba di Pondok Pesantren Subulussalam. Hari itu, Minggu, 16 Februari 2014, Posko Tanggap Darurat dan Balai Pengobatan Umum Paroki Tomang Gereja Maria Bunda Karmel melaksanakan bakti sosial (baksos) kesehatan bagi penduduk yang terkena banjir pada medio Januari 2014.

Bekerja sama dengan Komunitas Suster Hati Kudus di Balaraja dan Komunitas Solidaritas Kasih Peduli ‘87, diperkirakan pasien baksos akan berjumlah sekitar seribu orang. Dengan pasien sebanyak itu, agar arus pengobatan berjalan tertib dan lancar, pasien yang mengantre mendapat penyuluhan kesehatan di ruang kelas. Tak hanya menyimak informasi tentang kesehatan masyarakat, para pasien pun diajak untuk berbagi pengalaman agar suasana menjadi rileks dan interaktif.

"Air di sini rasanya asin, Bu. Tapi tetep kita pake buat mandi ama keramas. Akibatnya rambut kita warnanya jadi merah."

"Di sini sampah nggak diangkut, Bu. Jadi kita kumpulin aja, ntar kalo udah tinggi ya dibakar."

"Puskesmas jauh, trus mesti naik ojek. Saya nggak ada duit. Mendingan saya nunggu aja kalo ada baksos. Biar kata berapa bulan baru ada baksos, saya tetep nunggu aja."

"Air di sumur saya warnanya kuning."

"Di sini banyak lalat, kan dari peternakan ayam deket situ. Bau lagi. Kita sih gak pernah ngerasain dapet ayamnya. Cuma dapet lalatnya aja."

"Orang kaya deket rumah saya aja buang sampahnya di kebon..."

"Bu, gimana mau mencegah biar gak sakit? Orang kitanya sakit terus di sini..."

"Di sini banyak nyamuk, lalat, tikus dan kecoa. Yang paling banyak yang mana, ya? Semuanya banyak..."

"Kita nggak pernah minum vitamin."

“Saya berobat, Bu. Bolak-balik ke dokter, udah lama. Tapi saya nggak sembuh-sembuh. Sakit semua badan saya, nggak bisa tidur. Sembahyang aja susah...”

Banyak yang dikisahkan. Banyak yang perlu didengar, bukan hanya dengan telinga, namun juga dengan hati. Mengapa daerah ini seolah tak bertuan, dan para penduduk ini tampaknya begitu saja ditinggalkan?

Yang Lain sebagai Realitas
Baksos kesehatan berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 14.00 WIB. Semakin siang, hari semakin panas. Para dokter, perawat, apoteker dan relawan pun bermandi keringat. Semua berusaha keras agar pasien tak terlalu lama menunggu untuk mendapatkan layanan kesehatan. Bukankah mereka sudah cukup lama menderita?

Ironisnya, pada saat yang hampir bersamaan, sejumlah petinggi daerah itu tengah menjalani pemeriksaan demi pemeriksaan atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Berbagai media massa gencar memberitakan korupsi ratusan miliar rupiah dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Banten. Tak hanya soal raibnya uang, ditengarai telah terjadi pula persekongkolan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pejabat lainnya, sehingga posisi-posisi publik dijabat oleh sebuah dinasti keluarga. Korupsi, kolusi dan nepotisme; begitulah orang menyebutnya.

Satu demi satu fakta pun terkuak. Gaya hidup sang pejabat yang berfoya-foya, belanjaan berupa barang-barang mewah, kepemilikan atas tanah, rumah bahkan pulau, koleksi mobil-mobil mewah... sangat kontras dengan situasi penduduk Balaraja yang miskin, kumuh, dan sakit. Sungguh miris menyaksikan dua realitas itu bersanding di depan mata kita. Bagaimana kita merespon realitas sosial ini?

Madah Pujian di Tengah Penderitaan
Pemimpin yang korup dan menyengsarakan rakyat tak hanya muncul pada zaman sekarang. Ketika Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel,  gadis desa yang sederhana itu pun hidup dalam kesesakan bangsanya. Selain miskin, rakyat masih pula ditelikung oleh aturan-aturan hukum, bahkan juga agama, yang semakin menambah berat beban hidup mereka. Dalam situasi itu, tak heran jika kedatangan mesias sangat dirindukan.

Tekanan hidup yang berat serta karakter orang Galilea yang keras tak jarang memicu terjadinya pemberontakan-pemberontakan bersenjata. Karena itulah, sebagian rakyat menghendaki adanya mesias yang mampu merebut kekuasaan. Sebagian lainnya yang disebut kelompok Anawim, mengharapkan mesias dalam artian religius, yakni mesias yang datang dari Allah. Maria dan Yosef adalah bagian dari kelompok Anawim itu (lih. J. Darminta, Dari Madah Maria ke Spiritualitas Gerakan).

Ungkapan iman Maria tampak saat ia menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel. Dalam iman yang mendalam akan Allah, Maria berserah dan menyatukan diri dalam rencana keselamatan Allah. Ungkapan iman itu juga tampak saat Maria mengunjungi Elisabet saudaranya. Maria menyerukan Magnificat, madah pujian bagi Allah: Hatiku memuji Tuhan dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya... karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus (lih. Luk 1:46-49). Maria menyadari bahwa Allah selalu menyertai umat-Nya. Ia akan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak, menurunkan yang berkuasa dan sebaliknya, meninggikan orang-orang yang rendah serta melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar (bdk. Luk 1:51-55).

Dari kedalaman iman Maria itulah, kesediaannya menjadi Bunda Penebus, Yesus pun hadir dan menjadi mesias bagi manusia. Melalui Yesus, kehendak Allah semakin jelas dinyatakan. Yesus hadir untuk mengajar, menghibur dan menyembuhkan, membuat orang kembali berpengharapan demi mewujudkan hidup yang bermartabat. Orang pun tergerak untuk memperbaiki hidup berkat kekuatan yang datang dari Allah sendiri.

Membaca kembali Magnificat pada masa sekarang, tulis J. Darminta dalam bukunya, bukan hanya mengungkapkan iman akan kuasa Allah. Bersama Maria, kita juga memperbarui komitmen dalam memperjuangkan keadilan, untuk terlibat bersama perjuangan Allah dalam membangun kerajaan-Nya. Melalui teladan Yesus, kita dipanggil untuk menjadi kekuatan dalam gerakan untuk mengubah situasi dan kondisi hidup.

Saat melepas tim baksos kesehatan yang akan kembali ke Jakarta,  K.H. Ahmad Ma'imun Alie, MA (Pemimpin Pondok Pesantren Subulussalam, Balaraja) berkata, "Subulussalam itu bahasa Arab. Artinya adalah jalan-jalan perdamaian. Jalan itulah yang kami tempuh; maka kami selalu mau bekerja sama dengan orang-orang yang juga menempuh jalan damai untuk membuat masyarakat lebih sejahtera." Jalan itu adalah jalan bagi kita semua yang mau berbelarasa, bersaudara dan berbuat nyata.*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SILENCE DAN GUGATAN TERHADAP ALLAH (DAN MANUSIA)

Hari Kartini

Pencitraan