Pencitraan

Kata ‘pencitraan’ begitu akrab dengan pemahaman kita akhir-akhir ini, terutama jika dikaitkan dengan tingkah polah para figur publik. Pencitraan itu sendiri, kendati belum menjadi bentuk baku dari bahasa Indonesia, dapat diartikan sebagai ‘usaha untuk menonjolkan citra terbaik di mata publik’ (versierepublik.com). Terlepas dari soal baku-tidaknya, usaha itulah yang tampak dilakukan oleh para tokoh publik di negeri ini.

Di tengah kabar miring tentang para figur publik, terutama yang menyoal absennya mereka di tengah masa sidang hingga sensasionalitas gratifikasi seksual, dari masalah ribet-nya birokrasi hingga korupsi triliunan rupiah, rakyat masih mendapat suguhan informasi tentang figur publik yang tak ragu nyemplung ke gorong-gorong air atau menghadang arogansi para pengusaha besar yang memiskinkan rakyat. Dari beragam informasi itu pun rakyat mafhum: ada figur yang bekerja benar-benar, ada yang bisanya hanya omong besar. Yang kerap omong besar itulah yang kerap ditengarai melakukan pencitraan untuk menutupi keburukannya sendiri.

Padahal, pencitraan dapat bernilai positif. Dalam psikologi sosial, dikenal teori impression management yang praktiknya mirip dengan pencitraan. Kita membangun citra diri, membentuk diri kita, dan kita juga mau orang lain melihat diri kita seperti itu. Bagi figue publik, apalagi pejabat publik yang mendunia, pencitraan itu perlu. Melalui citra diri itulah, pejabat publik akan dinilai. Apakah dia adalah seorang pemimpin yang toleran? Prodemokrasi? Mendorong perdamaian? Otoriter?

Citra diri tentu perlu dibentuk berdasarkan perbuatan dan usaha-usaha tertentu. Jika aku ingin mencitrakan diriku sebagai seorang promotor perdamaian, aku akan mengambil inisiatif untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang bertikai, misalnya. Jika aku ingin mencitrakan diriku sebagai orang yang toleran, aku akan mengupayakan relasi yang baik antar-kelompok di dalam masyarakat.

Menjadi masalah ketika kemudian ada gap yang lebar antara citra diri yang hendak dibangun dengan realitas. Citra diri yang dibangun adalah toleran, bahkan sampai diunggulkan untuk mendapat penghargaan dalam kapasitasnya sebagai negarawan, akan tetapi dalam realitasnya, orang itu membiarkan gereja-gereja dirusak/dibakar, jemaat suatu aliran tertentu dianiaya, dibatasi hak-haknya untuk beribadah, bahkan dibunuh dan jenazahnya pun terus disiksa dengan keji. Realitas seperti ini membuat kita bertanya-tanya. Apalah artinya citra jika itu hanya sekadar di mulut saja?

Sebagai orang Katolik, syukurlah, kita tak perlu repot-repot melakukan pencitraan. Allah telah memberikan citra itu: diri-Nya sendiri (bdk. Kejadian 1:27). Pergulatan kita pun bukan untuk membentuk citra, tapi mempertahankan citra itu agar diri kita selalu menjadi sebagaimana sejatinya sejak semula. (Helena D. Justicia)

Sumber: http://www.parokimbk.or.id/warta-minggu/artikel/30-06-2013/pencitraan/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SILENCE DAN GUGATAN TERHADAP ALLAH (DAN MANUSIA)

Hari Kartini