Hari Tanpa Kekerasan (Hari Para Martir)

Sebuah Riwayat Panjang Melawan Kekerasan

Setiap tanggal 30 Januari, para promotor perdamaian memperingati Hari Tanpa Kekerasan, atau yang disebut juga Hari Para Martir. Di dunia yang makin penuh kekerasan ini, sungguh suatu perjuangan tersendiri untuk mencoba berpihak pada cara-cara tanpa kekerasan. Masihkah kita punya harapan?

Bukan Hanya Wacana
Jika membayangkan sebuah peringatan anti kekerasan, orang barangkali lantas mengaitkannya dengan aksi bagi-bagi bunga di jalan, demonstrasi damai atau aksi berjalan kaki dalam diam sembari mengacung-acungkan poster atau slogan-slogan anti kekerasan. Memang, tindakan-tindakan semacam itu kerap menjadi bagian dari gerakan promosi perdamaian, sebagian kecil saja tepatnya.

Gerakan promosi perdamaian, terutama yang secara spesifik mengkritisi aksi-aksi kekerasan, tak pernah cukup bila hanya dilakukan sebatas imbauan. Gerakan anti kekerasan harus benar-benar mampu menyadarkan umat/masyarakat melalui pengungkapkan tindak kekerasan yang terjadi di sekeliling kita, sekaligus merupakan pernyataan sikap ’menentang’ kekerasan tersebut. Karena itulah, para promotor perdamaian pun mempraktikkan & mendorong cara-cara hidup anti kekerasan sebagai counter bagi aksi-aksi kekerasan. Harapannya, pada suatu saat nanti, melalui tindakan-tindakan anti kekerasan yang semakin terakumulasi, lambat-laun budaya kekerasan akan digantikan oleh budaya kedamaian.

Mencoba merenungi spiritualitas gerakan anti kekerasan, menjadi dapat dipahami bahwa kehadiran Yesus Kristus, Putra Allah yang menjelma manusia itu, pernah membawa dampak yang begitu besar bagi masyarakat bangsa Israel. Kehadiran Yesus adalah tanda solidaritas Allah terhadap manusia yang menderita karena menjadi korban kekerasan sesamanya; Allah sungguh mau hadir dalam penderitaan itu. Melalui karya-karyanya, Yesus menunjukkan bahwa Ia datang untuk membebaskan manusia dari penderitaan; berpihak kepada yang miskin, sakit, lemah, teraniaya, tertindas dan karenanya tersingkir, serta memperjuangkan kembalinya martabat mereka sebagai ciptaan yang mulia (= citra Allah).

Putra Allah yang hidup bukan hanya sekadar ramalan para nabi atau kisah-kisah indah yang terlantun di dalam Kitab Suci. Ia hadir secara konkret, menjadi ‘pejuang hak asasi manusia’ bahkan sebelum konsepsi tentang ‘HAM’ itu sendiri dirumuskan. Pada akhirnya, ketika Putra Allah itu sendiri menjadi korban dari tindak kekerasan brutal berupa hukuman mati di kayu salib, yang Ia lakukan justru memohonkan ampun dari Allah bagi mereka yang telah menganiaya-Nya, “Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan...” Cinta kasih telah memutus rantai kekerasan!

Sebuah Panggilan bagi Kita
Jalan damai dan cinta kasih yang dirintis Yesus hingga kini tak berkesudahan. Jalan yang telah dipetakan di muka bumi itu pun disusuri oleh banyak orang yang mengimani Dia. Uskup Agung San Salvador Oscar Romero misalnya, merupakan seorang pejuang perdamaian yang gigih. Khotbah-khotbahnya secara lugas menelanjangi dosa-dosa yang mengakibatkan penderitaan bagi umatnya. Mereka dililit kemiskinan, diperintah oleh seorang diktator dan diperalat oleh orang-orang kaya. Khotbah-khotbah yang dahsyat itu disiarkan melalui radio ke seluruh penjuru negeri; ia berbicara dengan kuat, melawan kekerasan dan ketidakadilan yang ditanggung oleh umatnya. Pendiriannya yang radikal itu berakar kokoh dalam Injil dan dalam martabat pribadi manusia. Dikatakannya, ”Menolak kekerasan itulah satu-satunya seruan Gereja, setiap kali tangan terangkat melawan orang lain, siapapun dia. Kekerasan adalah tindakan berdosa yang mencemari dunia. Suara Gereja selalu menganjurkan persaudaraan yang dibangun berdasarkan iman dan kebenaran yang diwahyukan oleh Allah.” (Buku Pegangan bagi Promotor Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, Kanisius, 2001).

Uskup Romero selalu berusaha meletakkan agama Kristen dalam hubungan dengan politik; ia berbicara lantang melawan korupsi, absennya demokrasi serta pelanggaran-pelanggaran HAM. Ia bahkan mengingatkan umat Kristiani agar tak memadukan Injil dan politik dalam tindakan-tindakan kekerasan sebagaimana dilakukan oleh berbagai kelompok radikal yang menentang pemerintah. Injil memang mempunyai dimensi politis, namun juga menuntut perilaku-perilaku tertentu termasukanti kekerasan.

Pada 24 Maret 1980, ketika sedang mempersembahkan Perayaan Ekaristi, Uskup Romero ditembak mati. Kematian Romero hanyalah satu di antara deretan panjang kematian para pejuang kemanusiaan. Bahkan hingga sekarang, deret itu makin bertambah panjang, bahkan juga mencakup mereka yang bukan Kristen: Chico Mendes (pejuang ekologi hutan Amazon), ratusan penduduk pribumi di Chiapas (Meksiko) yang mempertahankan hak-hak ulayatnya, wartawan-wartawan yang dibunuh saat menunaikan tugas jurnalistiknya, dan masih banyak lagi lainnya. Di Indonesia, kita dapat menyebut nama Marsinah (pejuang hak-hak buruh) dan Munir (mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

Kesemua orang itu disebut martir bukan karena kematiannya, namun terutama karena mereka bekerja bagi Kerajaan Allah, yang konsekuensinya adalah perlawanan bahkan hingga kematian mereka sendiri. Dalam hubungannya dengan tindak anti kekerasan, kemartiran bukan hanya menunjuk cara hidup yang jauh dari kekerasan. Lebih dari itu, kemartiran anti kekerasan berarti secara aktif melakukan kontrol dan menentang aksi-aksi kekerasan yang berlangsung di masyarakat. Kemartiran adalah sebuah riwayat panjang perjuangan menegakkan hukum Allah; bukan semata-mata bertahan sebagai Kristen (tak mau berpindah keyakinan), melainkan sebuah ketaatan pada kehendak Allah untuk memulihkan dunia, Firdaus yang hilang. Kemartiran adalah tanda, bahwa janji penebusan Yesus masih terus diupayakan untuk dipenuhi dan Sabda Bahagia pun masih akan terus diupayakan untuk digenapi.

Merefleksikan semua ini, kemartiran anti kekerasan menjadi panggilan bagi kita semua yang mengaku diri anak-anak Allah, yang mau melaksanakan kehendak Bapanya: mewujudkan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu sendiri berarti situasi ketika terjalin hubungan-hubungan yang benar antara Allah dan makhluk ciptaan-Nya, antara manusia yang satu dengan yang lainnya, dan antara manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya. Memperjuangkan hubungan-hubungan yang benar itu, bukan tak mungkin berarti menuai perlawanan dan kesukaran hidup yang berat. Namun, dalam iman yang kuat pada Allah, kita percaya bahwa Ia yang memulai pekerjaan baik di antara kita, akan meneruskannya sampai kepada kesudahannya (bdk. Filipi 1:6). Artinya, ketika kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini, kita kini mengerti bahwa harapan itu ada di tangan kita semua! (Helena D. Justicia)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...