Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2008

Tuhan dalam Wajah Ekonomi Kita

Kemiskinan mudah sekali kita temui. Kemiskinan tampak di dunia sekitar kita: perumahan padat dan kumuh, para pengemis, pengamen, gelandangan, anak-anak jalanan, anak-anak yang ’menjual diri’ untuk sejumlah uang... Kemiskinan juga terlihat saat kita hendak mengikuti misa: kampung kumuh di sebelah gereja kita, orang-orang yang meminta-minta, anak-anak yang menjual rempeyek atau ’menjaga’ parkir, umat yang mengantre untuk mendapat bantuan sosial, masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan atau asupan gizi...

Kemiskinan bahkan mungkin menjadi potret lingkungan terdekat kita: anak-anak yang malnutrisi dan putus sekolah, orangtua yang sakit dan terlantar, orang-orang yang terjerat hutang, mereka yang tak mampu membiayai kesehatannya, pengangguran, bahkan kriminalis yang terpaksa mencopet atau merampok hanya karena lapar.

Wajah Ekonomi Kita
Nota Pastoral (NP) KWI 2006, Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan – Keadilan Bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi, secara tegas menyatakan bahwa kemiskinan adalah akibat ketidakadilan sistem ekonomi (NP 2006, 8) dan menjadi suatu realitas bahwa kita sungguh telah jauh dari tujuan penciptaan. Kondisi awal yang dikehendaki oleh Sang Pencipta adalah: menghormati keluhuran martabat manusia dalam semangat kekeluargaan, seraya terus menjaga keseimbangan hidup seluruh ciptaan (bdk. Kej 1:1-2:4) (NP 2006, 21).

Nota Pastoral 2006 (14) mengindikasi beberapa pokok masalah:
a. komersialisasi yang makin meluas, sehingga hak seseorang atas barang/jasa kebutuhan hidup ditentukan oleh daya beli (semakin punya uang, semakin berhak atas barang/jasa tersebut; semakin tak punya uang, semakin tidak berhak bahkan atas kebutuhan hidup yang paling mendasar seperti makanan dan kesehatan);
b. kebijakan publik, yakni ketika kesejahteraan bersama tidak lagi menjadi cita-cita utama, mereka yang mempunyai daya beli tinggi-lah yang menentukan arah kebijakan publik;
c. ciri mendua globalisasi (harapan namun juga hambatan, kemudahan tapi juga kesulitan), yang di antaranya tampak pada kebijakan ekonomi yang bertumpu pada aliran modal investor asing, sehingga kita semakin tergantung pada kemauan pihak lain dan bukan pada potensi ekonomi kita sendiri;
d. kesenjangan budaya, yang tampak dari kebiasaan dan pola pikir dan bertindak seperti menghamburkan sumberdaya ekonomi, hidup mewah, korupsi (waktu, uang & jabatan) serta kemalasan dalam berusaha.

Empat permasalahan tersebut adalah jerat pemiskinan. Kesejahteraan bersama bukan lagi penuntun kegiatan ekonomi, sehingga mereka yang kuat semakin dapat menguasai mereka yang lemah. Inikah dunia yang kita inginkan sebagai orang beriman?

Gereja Bergerak & Bertindak
Menjawab pertanyaan itu, Gereja berkata tegas: tidak! Kesejahteraan bersama merupakan satu asas terpenting dalam cara berpikir & cara bertindak Gereja. Gereja yakin bahwa kesejahteraan bersama tidak dapat diserahkan begitu saja kepada proses mekanisme pasar, sehingga Gereja hendak setia dan mengusahakan pelaksanaan asas kesejahteraan bersama itu secara sadar dan sengaja (NP 2006, 17). Prinsip dasar yang perlu diperhatikan bersama adalah prinsip perekonomian yang adil (NP 2006, 28) yang meliputi:
a. kesetaraan martabat setiap manusia, yakni bahwa manusia tidak boleh dikorbankan demi kepentingn ekonomi, namun harus menjadi subjek, dasar dan tujuan kegiatan ekonomi itu;
b. kesejahteraan bersama, yakni bahwa setiap orang mempunyai hak, juga kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan bersama mengingat ia hanya dapat hidup dalam tata kebersamaan;
c. solidaritas, yakni kesetiakawanan untuk melihat persoalan, mencari dan merancang jalan keluar serta mengevaluasinya dengan menggunakan tolok ukur kesejahteraan bersama;
d. subsidiaritas, yakni prinsip agar kekuatan ekonomi besar tidak mencaplok atau menyingkirkan usaha-usaha ekonomi mikro yang dilakukan oleh kaum miskin dan lemah.

Satu upaya aktif yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan potensi dan energi sosio-ekonomi kaum miskin dan lemah itu sendiri. Usaha-usaha ekonomi kecil dan mikro yang berbasis kerakyatan perlu diperluas dan didukung sepenuhnya (NP 2006, 19). Pertanyaan selanjutnya yang mungkin timbul adalah: mengapa pilihan jatuh pada usaha-usaha ekonomi kecil dan mikro yang berbasis kerakyatan?

Contoh usaha ekonomi kecil dan mikro adalah lembaga keuangan mikro dan koperasi. Usaha-usaha semacam itu menjadi pilihan, karena memutus jerat ketergantungan kaum miskin pada usaha-usaha berskala besar, dalam hal pengadaan modal maupun pemenuhan kebutuhan barang & jasa. Secara tradisional, bank umum memang tidak memberikan layanan kepada mereka yang miskin, berpenghasilan minim, tidak berpenghasilan, ataupun yang bekerja sendiri. Karena itulah, lembaga keuangan mikro kerap disebut ’bank kaum miskin’.

Satu bukti keberhasilan lembaga keuangan mikro adalah Grameen Bank yang didirikan Muhammad Yunus di Bangladesh. Selain membebaskan kaum miskin dari jeratan rentenir, Grameen Bank telah memberi kredit kepada 7 juta orang miskin di 73 ribu desa di Bangladesh, membangun 640 ribu rumah bagi kaum miskin itu dan 58% peminjamnya telah terangkat dari garis kemiskinan. Itulah data yang dilansir Yunus pada saat penganugerahan Hadiah Nobel Perdamaian baginya di Oslo, 10 Desember 2006.

Menjadi jelas kiranya, bahwa prioritas gerakan Gereja adalah pemberdayaan potensi dan energi ekonomi rakyat (NP 2006, 30). Orang-orang miskin selalu ada padamu, dan kamu dapat menolong mereka bilamana kamu menghendakinya, pesan Yesus kepada kita (Mrk 14:7). Amanah ini ditegaskan oleh Paus Benedictus XVI dalam imbauannya menjelang KTT Pangan & Pertanian di Roma, 25 Mei 2008: siapapun yang terberkati makanan kehidupan, tidak bisa diam saja terhadap mereka yang tidak memiliki makanan sehari-hari. (Helena D. Justicia)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...