Hari Pangan Sedunia 2007: Hak Atas Pangan

Hak Pekerja Rumah Tangga atas Pangan
Jangan Biarkan Ayam Mati di Lumbung Padi!

Oleh: Helena D. Justicia


Ketika berbicara tentang pangan, pikiran kita barangkali langsung mengarah kepada produksi, ketersediaan, distribusi atau pola konsumsi pangan. Pernahkah terlintas di benak kita, bahwa persoalan pangan pun menyentuh keseharian kita yang paling dekat? Keseharian itu, satu di antaranya adalah persoalan pangan yang dihadapi oleh para pekerja rumah tangga (PRT).

Sebuah Potret Buram
Pada Agustus 2004, terbetik kabar di media massa tentang kisah Jumiah, seorang PRT berusia 15 tahun yang berasal dari Brebes. Ia mengaku tidak pernah diberi makan secara teratur oleh majikannya (Muryanti, 2005). Selain itu, Amnesty International Asia Pacific Regional Office (2007) dalam laporan tahunannya mengenai Indonesia, mendapati temuan PRT yang menyantap makanan kurang bergizi setiap harinya. Oleh majikannya, ia hanya diberi makanan yang sama setiap hari, yakni mi dan telur, tidak pernah diberi buah atau sayur. Karena bosan harus menyantap makanan yang sama terus-menerus, PRT tersebut terkadang berbohong dengan mengatakan bahwa ia sudah makan. Ada pula temuan tentang PRT yang tidak diberi makan selama tiga hari.

Melalui beberapa pengalaman, saya sendiri menyaksikan ada PRT yang makanannya dijatah oleh majikannya, tentu saja sesuai dengan perkiraan subjektif majikan itu sendiri, bukan berdasarkan kebutuhan si PRT. Majikan bahkan sesekali menunggui makan supaya PRT itu tidak ’mencuri’ makanan. Menariknya, menantu sang majikan yang tinggal berdekatan, kerap memanggil PRT itu ke rumahnya untuk memberi jatah makanan ekstra tanpa sepengetahuan mertuanya. Ada juga PRT yang hanya diperbolehkan makan dari sisa konsumsi majikannya. Jika yang tertinggal hanyalah sekerat kecil daging beserta kuah, atau beberapa jumput sayur saja, si PRT harus cukup puas dengan jatah itu. ”Kan nasinya masih banyak,” demikian kilah si majikan. (Ironisnya, seringkali majikan justru memberikan makanan yang kualitasnya jauh lebih baik kepada anjing peliharaannya, termasuk pemberian susu secara berkala.) Kadang-kadang, makanan yang tersisa masih cukup banyak sehingga disimpan untuk jatah makan PRT keesokan harinya, sementara majikan sudah berganti menu. Ada pula PRT yang selalu mendapat bagian dari hidangan hari itu, hanya saja tak selalu yang baik. Ketika majikan memasak ikan goreng, PRT hanya mendapat jatah kepala ikannya saja. Jika yang dimasak adalah ayam dan tahu/tempe goreng, PRT akan mendapat tahu/tempe; dan jika majikan tengah berbaik hati, PRT bisa menerima kepala dan leher ayam.

Mencermati situasi hidup PRT di dalam rumah tangga bukan hal yang mudah. Selain peristiwanya terjadi di dalam rumah sehingga tidak terlihat oleh mata publik, persoalan PRT masih kerap dianggap sebagai persoalan domestik yang penyelesaian masalahnya pun hanya dimungkinkan di tataran domestik saja. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang juga dianggap sebagai persoalan domestik hingga Undang-Undang No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) disahkan pada 2004. Undang-undang tersebut sebenarnya juga memberikan perlindungan hukum kepada PRT dalam hal tindak kekerasan, akan tetapi, di tingkat praksis, pelaksanaan UU itu masih jauh dari yang diharapkan. Yang juga cukup menghambat adalah anggapan bahwa PRT merupakan pekerja di sektor informal, sehingga mereka tidak mendapatkan jaminan atas hak dan perlindungan hukum layaknya pekerja di sektor formal.

Sebagian kecil ’fenomena gunung es’ PRT sebetulnya dapat disaksikan di ranah publik. Kalau saja kita mau sedikit mencermati perilaku konsumsi pangan dari keluarga yang membawa serta PRT-nya ke mal, restoran, tempat rekreasi atau tempat-tempat publik lainnya, kita dapat melihat bahwa seringkali perlakuan terhadap PRT tampak kurang manusiawi.

Kerap terjadi, keluarga tersebut makan dengan nikmat sementara PRT disuruh untuk menjaga anak yang paling kecil atau yang masih bayi. Si PRT tidak mempunyai kesempatan untuk makan, karena segera setelah selesai bersantap, keluarga itu pun beranjak pergi. Pada beberapa peristiwa, selagi keluarga itu makan, PRT diminta untuk menyuapi anak yang masih kecil atau mengajak mereka bermain.

Mencermati kejadian tersebut, beberapa pertanyaan dapat muncul di benak kita. Kapankah dan di manakah PRT itu makan? Meskipun majikan makan di restoran, apakah PRT tetap makan di rumah? Makanan apakah yang diperolehnya? Apakah kualitas makanannya lebih rendah dari yang disantap majikannya? Apakah ia makan tepat pada waktunya (karena pada saat jam makan pun ia masih tetap bekerja), dan apakah jam makannya (selalu) teratur?
Situasi yang ditemui dapat lebih memprihatinkan. Selagi majikan makan, PRT duduk di meja sebelah majikannya atau di tempat yang agak jauh, berdiam diri sambil menjaga barang-barang belanjaan majikannya. Seringkali yang dipesan adalah hidangan enak dan mahal yang tak selalu disantap keluarga itu sehari-hari. Bahkan, kerap terjadi, makanan itu tak dihabiskan karena jumlahnya yang terlalu banyak untuk dikonsumsi oleh keluarga itu sendiri.

Pernahkah kita bertanya: apakah PRT itu, yang dengan setia menunggui majikannya, tak tergiur oleh makanan yang mungkin belum pernah ia cicipi seumur hidupnya? Bagaimana perasaan PRT itu ketika ia hanya bisa memandangi saja sang majikan yang makan dengan nikmatnya? Ketika banyak makanan tak habis disantap, bagaimana pulakah perasaan si PRT melihat makanan itu disia-siakan begitu saja?

Jika di ranah publik saja perlakuan terhadap PRT dalam hal pangan begitu memprihatinkan, mudah dipahami bahwa perlakuan terhadap PRT di dalam rumah tangga pun dapat menjadi lebih buruk lagi. Karena itulah, bisa saja ditemukan kasus-kasus macam PRT yang tak diberi makanan bergizi, tidak diberi makan dengan porsi yang cukup atau sesuai kebutuhannya, tidak mendapat makanan setiap hari, bahkan selama beberapa hari justru sama sekali tidak diberi makan oleh majikannya.

Hak PRT atas Pangan
dan Efek Domino yang Timbul Akibat Pengabaiannya
Sebelum menelaah lebih lanjut mengenai persoalan pangan yang dihadapi oleh PRT, ada baiknya mengetahui terlebih dulu gambaran umum kondisi PRT di Indonesia. Gambaran itu sendiri bukanlah gambaran yang menggembirakan. Dalam laporannya, Amnesty International Asia Pacific Regional Office (2007) menyebutkan bahwa PRT di Indonesia yang jumlahnya mencapai 2,6 juta jiwa itu berada dalam kondisi kerja sebagai berikut.
· Bekerja rata-rata 70 jam dalam seminggu. Sebagian di antara mereka bekerja selama 21-22 jam dalam satu hari. Mereka pada umumnya tidak mendapat cuti per minggu dan tidak diperbolehkan untuk cuti, bahkan pada hari-hari libur umum.
· Banyak majikan menahan gaji mereka. Dalam banyak kasus, gaji mereka lebih kecil daripada upah minimum regional (UMR), bahkan sejumlah PRT digaji kurang dari jumlah yang telah disetujui semula.
· Majikan melakukan pembatasan kebebasan bergerak kepada PRT. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa PRT mendapat hambatan atas hak-hak mereka dalam mendapatkan akses terhadap kesehatan & pendidikan.
· Sebagian mengalami insiden kekerasan fisik (penganiayaan) dan seksual (pelecehan, pemaksaan hasrat seksual bahkan hingga mengakibatkan kehamilan).

Mengapa situasi PRT begitu memprihatinkan? Masih menurut laporan yang sama, PRT rentan terhadap pelanggaran & eksploitasi karena:
· kurangnya perlindungan hukum terhadap mereka,
· tempat kerja yang tidak terlihat (di dalam rumah),
· statusnya yang dianggap rendah (mayoritas adalah perempuan serta berasal dari keluarga miskin dan tidak berpendidikan).

Selain itu, banyak pelanggaran hak PRT tidak dilaporkan karena:
· PRT takut kehilangan pekerjaan dan penghasilan,
· malu untuk berbicara tentang keadaan mereka,
· tidak tahu tempat untuk melapor,
· kebebasan bergerak sangat terbatas.

Venny (2005) menyatakan bahwa fenomena PRT di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kemiskinan struktural dan pendidikan yang rendah, yang memaksa PRT (terutama perempuan) untuk bekerja dalam relasi kekuasaan yang timpang dan posisi tawar yang sangat lemah. Inilah yang terutama menjelaskan alasan kondisi kerja PRT yang buruk itu. Bahkan, ditengarai, perlakuan terhadap PRT di Indonesia telah sampai pada tingkat penghambaan atau perbudakan (domestic slavery).

Mencermati kondisi PRT yang cukup memprihatinkan, barangkali orang akan tergiring untuk bertanya: begitu banyak persoalan serius dihadapi oleh PRT yang butuh tanggapan segera, seperti kekerasan fisik dan seksual, tapi mengapa kita mempersoalkan hak mereka atas pangan? Bila dibandingkan dengan penderitaan yang mereka alami, tidakkah persoalan pangan merupakan persoalan yang kurang penting? Dibandingkan dengan yang lain, apakah persoalan pangan merupakan persoalan yang cukup mengancam?

Bertolak belakang dengan pemikiran tersebut, Nickel (1996) menyatakan bahwa semua hak yang menyangkut konsumsi mencakup hak-hak kesejahteraan, yakni hak atas ketersediaan barang-barang yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup serta kehidupan yang layak. Hak atas pangan, atau yang secara lebih spesifik dapat disebut sebagai hak atas nutrisi yang cukup, merupakan hak kesejahteraan yang paling penting, karena pengujian terhadapnya akan memicu isu-isu tentang hak-hak kesejahteraan pada umumnya.

Lebih lanjut, Nickel (1996) menjelaskan bahwa makanan adalah sesuatu yang esensial atau mendasar bagi kesanggupan orang untuk hidup, berfungsi dan berkembang. Tanpa itu, kepentingan atas kehidupan, kesehatan dan kebebasan berada dalam bahaya, penderitaan dahsyat dan bahkan juga kematian yang tak terelakkan. Makanan adalah hal pokok. Manakala sesuatu yang sedemikian pokok itu dipertaruhkan, kita memiliki klaim moral terhadap orang lain agar menahan diri untuk tidak merampasnya dari mereka (yang hak atas pangannya terabaikan) dan untuk memberi bantuan sewaktu mereka tidak mampu memperoleh atau melindungi hak tersebut melalui upaya-upayanya sendiri.

Mengingat beratnya situasi kerja yang dihadapi oleh PRT, persoalan pangan dalam kehidupan PRT tidak dapat dianggap sepele atau diabaikan, karena pangan adalah satu sumber energi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan.

Bagi PRT yang banyak melakukan pekerjaan fisik, kuantitas dan kualitas pangan justru menjadi semacam persyaratan yang tak boleh diabaikan begitu saja. Apabila kebutuhan tersebut tak terpenuhi, PRT dapat mengalami gangguan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Jika gangguan tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerjanya, PRT terancam mendapat masalah yang berkaitan dengan evaluasi hasil kerja dari majikan. PRT dapat dinilai tidak becus dalam bekerja karena kualitas hasil kerja yang kurang baik. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, kelemahan fisik PRT dapat mengakibatkan kelalaian dan kecelakaan kerja.
Penilaian yang kurang baik dari majikan mengenai kinerja PRT, bukan tak mungkin memunculkan tindakan-tindakan negatif dari majikan itu sendiri, seperti kekerasan verbal (bentakan, caci-maki), kekerasan fisik (pemukulan, penganiayaan sebagai bentuk hukuman), bahkan hingga berupa pemotongan upah kerja.

Muryanti (2005) menceritakan kisah sedih Sutini, seorang PRT di Yogyakarta. Bila Sutini melakukan kesalahan, seperti memecahkan gelas atau piring, upahnya akan dipotong secara sepihak; demikian pula halnya jika ia memasak nasi sampai basi. Sutini pun kerap mengalami penganiayaan dan pelecehan fisik seperti dipukul dengan tang hingga berdarah-darah atau ditempeleng kepalanya.

Pemotongan upah PRT juga dapat menimbulkan dampak yang lebih luas. Dengan upah yang terbatas, PRT kehilangan kesempatan untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Dalam hal pangan, PRT yang mengalami kekurangan pangan di rumah majikannya dan mengalami pemotongan upah, peluangnya semakin kecil untuk mendapatkan pangan bagi dirinya sendiri karena tidak punya uang untuk membelinya.

Selain itu, sebagaimana dipaparkan Aida Milasari (2005), banyak PRT yang berperan sebagai single bread winner atau pencari nafkah utama dalam keluarga. Mereka membiayai kebutuhan hidup orang tua serta membayar biaya sekolah bagi adik-adik mereka. Pemotongan upah PRT, artinya juga akan mengancam kelangsungan hidup dan kesejahteraan keluarga mereka.

Menjadi jelas kiranya, ketika kebutuhan pokok berupa pangan diabaikan, efek domino dari pengabaian tersebut dapat menjadi panjang. Tak hanya berdampak langsung pada PRT sendiri, pengabaian itu juga berdampak pada keluarga PRT, terutama jika PRT tersebut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Efek yang sama dapat terjadi pada kondisi sebaliknya. Di beberapa tempat, PRT diperbolehkan membawa serta anaknya ketika mereka bekerja. Apabila majikan memberi mereka makanan dan minuman dengan kuantitas yang cukup dan kualitas yang baik, hal itu berarti menjamin kecukupan pangan bagi PRT dan sebagian keluarganya. Ada pula majikan, yang PRT-nya tidak menginap melainkan pulang, mengizinkan PRT tersebut membawa kelebihan makanan sehingga keluarga PRT juga mendapatkan makan. Melalui cara-cara ini, dapat dikatakan bahwa beban ekonomi keluarga PRT telah sedikit diringankan.

Hak PRT atas Pangan: Tanggung Jawab Siapa?
Nickel (1996) menegaskan bahwa hak atas pangan, atau hak atas nutrisi yang cukup, sebagaimana sebagian besar hak lain, memiliki penanggung jawab yang berupa individu maupun pemerintah. Pemerintah memiliki kewajiban-kewajiban positif yang tegas, yakni menyediakan perlindungan terhadap mereka yang terancam haknya atas pangan. Yang menjadi dasar kewajiban positif tersebut adalah bahwa tanpa upaya-upaya mandiri seseorang dan bantuan dari orang-orang lain, pangan seringkali tidak akan tersedia.

Individu mempunyai kewajiban negatif untuk tidak merampas makanan yang dibutuhkan orang-orang lain, atau tidak merampas keleluasaan ataupun sarana untuk mendapatkan makanan. Individu juga memiliki kewajiban positif untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat; untuk menyediakan makanan bagi anak-anak mereka dan bagi anggota lain dalam keluarga, bahkan juga dengan melibatkan diri ke dalam upaya-upaya karitatif untuk menyuplai makanan bagi mereka yang membutuhkan.

Nickel (1996) juga menuturkan bahwa sejumlah orang berpendapat bahwa suplai kecukupan pangan yang memadai dapat dijamin oleh suatu sistem berikut:
1. perlindungan pemerintah di hadapan tindakan-tindakan individu atau petugas pemerintah yang akan merampas suplai makanan;
2. perlindungan pemerintah atas kebebasan-kebebasan yang diperlukan untuk menemukan serta membeli makanan;
3. jaminan bagi golongan miskin oleh masyarakat dan bukannya oleh pemerintah.

Di Indonesia, upaya yang berupa perlindungan pemerintah terhadap PRT belumlah optimal. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, sebagian persoalan PRT terutama yang menyangkut tindak kekerasan, telah diakomodasi dalam UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Akan tetapi, permasalahan PRT tentu bukan hanya kekerasan. Masalah yang paling krusial, yakni ketenagakerjaan, tidak terakomodasi di dalam UU No. 12/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang tersebut justru membedakan pekerja formal dan informal, yang berarti mendiskriminasi PRT dan membuat mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak pekerja mereka, seperti upah minimum, 40 jam kerja per minggu, serta standar-standar yang mengatur tentang istirahat secara reguler dan libur. Dengan kata lain, kondisi PRT sangat tergantung pada kemauan baik dari majikan mereka (Amnesty International Asia Pacific Regional Office, 2007).

Dipaparkan oleh Wijaksana (2005), peraturan yang secara khusus mengatur masalah pekerja domestik hanya terdapat pada tingkat peraturan daerah (Perda), itu pun masih memiliki banyak kelemahan yang fundamental. Perda yang dimaksud di antaranya adalah Perda Pemerintah Provinsi Jakarta No. 6/1993 dan Perda No. 6/2004 tentang Ketenagakerjaan. Kedua Perda tersebut lebih diperuntukkan bagi pengaturan masalah pajak dan retribusi dari agen-agen penyalur PRT, bukannya melindungi hak-hak hukum calon atau mereka yang telah bekerja sebagai PRT. Dengan kata lain, Perda tersebut lebih berorientasi pada retribusi finansial daripada kewajiban negara yang bersifat legal.

Kabar yang menggembirakan sempat terdengar dari Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta, yang berhasil membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang PRT. Raperda itu sendiri terdiri dari dua versi, yakni versi Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta dan versi LSM Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Daerah Istimewa Yogyakarta. Sayangnya, hingga saat ini, sebagaimana dituturkan Lita Anggraini dari JPPRT, Raperda tersebut masih diperdebatkan dengan Peraturan Walikota. Mencermati keseluruhan usaha yang dilakukan di tataran pemerintah ini, satu pertanyaan yang dapat diajukan adalah: apakah pemerintah telah mengupayakan dengan sungguh-sungguh suatu regulasi yang berorientasi pada kesejahteraan bersama, bukannya sekadar mengikuti kemauan mereka yang mempunyai uang dan ingin terus-menerus mendapatkan keuntungan?

Sebagai pembanding bagi Indonesia, Filipina telah memiliki undang-undang yang disebut Undang-Undang Pengaturan Kerangka Kerja Komprehensif bagi Industri Pekerja Rumah Tangga, Penguatan Standar Perlindungan dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja Rumah Tangga (Act of a Comprehensive Regulatory Framework for the Domestic Workers Industry, Establishing Standards of Protection and Promotion of Their Welfare). Undang-undang tersebut disebut juga Magna Carta Domestic Workers atau Batas Kasambahay (Wijaksana, 2005).
Undang-undang tersebut adalah pernyataan negara bahwa PRT adalah jenis pekerjaan yang harus dihormati. Dengan demikian, PRT memiliki hak-hak yang sama untuk memperoleh kesempatan dalam peningkatan kesejahteraannya. Melalui undang-undang tersebut, negara menyediakan segala jenis perlindungan sosial, ekonomi dan legal yang sepatutnya. Negara juga menempuh upaya-upaya yang sungguh-sungguh untuk menghapuskan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran, eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang dinilai dapat membahayakan kesehatan fisik maupun mental PRT.

Meskipun perlindungan hukum terhadap PRT di Indonesia masih memprihatinkan, akan tetapi di tataran masyarakat, cukup banyak hal yang membesarkan hati telah dilakukan. Satu di antaranya telah disinggung dalam tulisan ini, yakni peran LSM. Mereka tidak hanya memperjuangkan keadilan bagi PRT melalui jalur hukum, tetapi juga menempuh cara-cara pendampingan dan pemberdayaan PRT melalui pendidikan.

Satu temuan lain yang menarik dipaparkan oleh Subiyantoro (2005), mengenai aktivitas jasa penyaluran PRT yang dilakukan oleh Yayasan Cendana Raya. Klien mereka (pengguna jasa PRT), harus memenuhi ketentuan yayasan bahwa pengguna jasa wajib memberikan kesejahteraan kepada PRT di antaranya berupa makan dan minum secukupnya, minimal pada pagi, siang dan sore hari dengan nasi sayur, lauk-pauk atau uang pengganti sebesar Rp20 ribu/hari. Sayangnya, kendati merupakan ketentuan yang disepakati bersama antara yayasan dan kliennya, kewenangan yayasan hanya sampai pada batas tertentu saja. Ketika PRT sudah ada di tangan majikan, posisi yayasan tidak cukup kuat untuk melakukan kontrol atau pengawasan, sehingga sulit bagi PRT untuk meminta bantuan pada yayasan apabila menemui persoalan. Situasi ini diperburuk oleh tekanan ekonomi yang berdampak pada persaingan bisnis antar penyalur PRT, sehingga orientasi pada pemenuhan kebutuhan majikan menjadi lebih besar daripada orientasi pada perlindungan PRT.

Hak PRT atas Pangan: Ada Apa dengan Kita?
Ketika persoalan kesejahteraan PRT terutama dalam hal pangan mengalami kemacetan bahkan kebuntuan di tataran pemerintah maupun masyarakat, mau tak mau kita kembali kepada individu dan keluarga. Ada apa dengan kita?

Dalam Kitab Kejadian, Allah berfirman: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan permpuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26-28).

Firman Allah ini mengandung beberapa butir penting. Pertama, bumi dan seluruh isinya adalah pemberian dari Allah yang Mahamurah. Sama seperti Allah itu murah hati, hendaknya kita pun murah hati (bdk. Lukas 6:36). Kedua, manusia diciptakan sesuai dengan gambar Allah sendiri. Apapun yang boleh kita lakukan dalam hidup ini, hendaknya kesemuanya itu adalah untuk mengembalikan manusia kepada wajah Ilahinya, bukannya justru merusak wajah itu. Secara konkret, mengembalikan wajah keilahian manusia berarti memperlakukan manusia sesuai martabatnya, bukan menistakannya. Ketiga, bumi dan seluruh isinya yang telah diberikan kepada manusia itu hendaknya dimanfaatkan bagi kesejahteraan semua orang. Jika hanya sejumlah orang saja yang dapat memanfaatkannya, itu berarti prinsip keadilan dan cinta kasih belum ditegakkan.

Dalam persoalan pangan bagi PRT ini, apakah kita telah menyimpang dari kebijaksanaan yang digariskan oleh Allah itu? Dalam Ensiklik Deus Caritas Est, dinyatakan bahwa Gereja adalah keluarga Allah di dunia, dan di dalam keluarga itu, tak seorang pun dibiarkan tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja, batasan ’keluarga’ ini telah melampaui Gereja, sebab perumpamaan mengenai orang Samaria yang murah hati (lihat Lukas 10:30-35) menjadi patokan bagi diwujudkannya kasih universal bagi mereka yang membutuhkan (DCE, 25b). Yesus sendiri berfirman: Kalau engkau ingin menjadi sempurna, pergilah jual semua milikmu. Berikanlah uangnya kepada orang miskin, dan engkau akan mendapat harta di surga. Sesudah itu, datanglah mengikuti Aku! (Matius 19:21). Kasih itu murah hati (bdk. 1 Korintus 13:4); hendaknya dalam kasih itu manusia dapat saling menyempurnakan. Orang yang mempunyai kasih akan terdorong atau termotivasi untuk menyempurnakan hidup orang-orang yang lemah dan berkekurangan. Terhadap PRT, sudahkah kita berlaku demikian pula? Mereka adalah orang-orang yang lemah dan berkekurangan (mayoritas perempuan, berasal dari keluarga miskin serta tidak berpendidikan); apakah kita, dengan perbuatan kita selama ini terhadap mereka, telah melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka? Apakah kita justru makin mendesaknya dalam kelemahan dan kekurangannya itu? PRT juga memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, sama seperti majikannya sendiri. Apabila kita penuh dengan kelimpahan tetapi membiarkan PRT tak berkecukupan gizi atau bahkan juga kelaparan di dalam rumah kita sendiri, bukankah itu adalah suatu ironi? Tidakkah itu sama saja dengan membiarkan ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi?

Apabila manusia adalah gambaran Allah, sudahkah kita memperlakukan PRT sebagai gambaran Allah juga? PRT juga manusia! Apakah kita sudah memperlakukan PRT sebagaimana manusia yang bermartabat? Pendekatan psikologi sosial menyodorkan teori tentang frustrasi-agresi, ialah tentang kekerasan yang timbul sebagai akibat dari frustrasi yang dialami. Kekerasan itu dapat menjadi displacement, atau dilampiaskan kepada orang yang tidak mempunyai kaitan atau tidak menjadi sumber dari frustrasi tersebut. Dengan kata lain, ’salah sasaran’. Di dalam rumah tangga, sasaran kekerasan itu umumnya adalah pihak yang paling lemah, di antaranya perempuan, anak-anak dan tentu saja, pekerja rumah tangga. Apakah pengabaian hak PRT merupakan bagian dari pelampiasan frustrasi yang salah sasaran ini? Apakah kita tak lagi memandang PRT sebagai manusia yang bermartabat itu, sehingga kita merasa bebas memperlakukan dia seenaknya, termasuk menjadi sasaran pelampiasan kemarahan dan kekecewaan kita?

Apakah hal itu termasuk ketidakberdayaan kita menghadapi warisan kultural dan sejarah, sebagaimana telah dinyatakan di dalam tulisan ini, yakni ketika kita menganggap bahwa PRT merupakan hamba atau budak bagi kita? Benarkah ini menunjukkan ketidakmampuan kita untuk melepaskan diri dari warisan feodalisme? Adakah kepuasan-kepuasan tertentu yang kita dapatkan dari hal ini sehingga kita mengekalkan sistem itu? Dalam Ensiklik Rerum Novarum, dinyatakan: betapapun dibagi-bagikan di antara orang-orang, bumi tidak berhenti melayani kebutuhan semua orang. Tak seorang pun tidak mendapatkan rezeki hidupnya dari hasil sawah ladang. Orang-orang tanpa modal menyediakan jerih payah mereka. Jadi dengan tepat dapat dikatakan, bahwa umumnya upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan menyelenggarakan kemudahan-kemudahan hidup terdiri dari kerja, entah itu berlangsung di ladang sendiri, entah dalam suatu bentuk kerajinan; dan kerja itu mendapat upahnya, yang sumbernya tak lain ialah aneka macam hasil bumi, yang ditukarkan dengan upah (RR, 7).

Mengacu pada ensiklik tersebut, jelas kiranya bahwa PRT bukanlah beban bagi majikan. PRT adalah orang-orang bermartabat, yang mendapatkan rezekinya melalui pekerjaan. Mereka tidak mempunyai modal, karena itulah mereka menyediakan jerih payah. Dalam suatu hubungan kerja yang adil, PRT berhak atas upah yang sepadan dengan jerih payah yang telah dilakukannya itu, termasuk berhak atas kondisi-kondisi kerja yang memadai. Sudahkah kita sampai pada titik kesadaran ini? Apakah kita telah memandang PRT sebagai orang-orang bermartabat, yang mencapai pemenuhannya sebagai manusia melalui pekerjaan (bdk. Laborem Exercens, 9), ataukah kita lebih suka berlindung di balik feodalisme, sistem yang memberikan hal sebesar-besarnya kepada majikan, termasuk menganggap pekerjanya sebagai milik yang boleh diperlakukan seenak hati?

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 secara tegas menyatakan keprihatinan terhadap 17 masalah yang tengah melanda bangsa kita, satu di antaranya adalah masalah buruh dan pekerja. Keuskupan Agung Jakarta sendiri, secara khusus memilih tema Solidaritas terhadap Buruh dan Pekerja sebagai tanggapan atas keprihatinan SAGKI tersebut. Sudah saatnya bagi kita untuk tidak menunjukkan keprihatinan sekadar sebagai bentuk tanggapan atas sebuah fenomena. Sudah saatnya, keprihatinan itu adalah langkah yang sungguh-sungguh nyata untuk melakukan perubahan; melakukan transformasi nilai demi kesejahteraan bersama itu. Perubahan itu bukannya tanpa konflik atau benturan, sebab ada begitu banyak hal yang harus direfleksikan, digugat dan dipertanyakan kembali. Sama seperti kaum miskin dan orang-orang yang berkekurangan, PRT bukan hanya membutuhkan belas kasih, namun lebih daripada itu mereka membutuhkan keadilan. Upaya untuk mewujudkan keadilan itulah yang akan membongkar nilai-nilai dan paradigma lama kita.

Perubahan memang tak perlu langsung berupa pencapaian yang besar, sebab selalu dapat dimulai dari diri dan rumah kita sendiri. Maukah kita? Beranikah kita?*



Daftar Pustaka
Amnesty International Asia Pacific Regional Office
. (2007). http://www.asiapacific.amnesty.org/apro/%20APROweb.nsf/pages/. Tanggal akses: 02 Juni 2007.
Milasari, A. (2005). Penting namun terabaikan: potret pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia. Jurnal Perempuan. 39, hlm. 31-39.
Muryanti. (2005). Upaya perlindungan PRT. Jurnal Perempuan. 39, hlm. 7-17.
Nickel, J.W. (1996). Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Subiyantoro, E.B. (2005) Jasa penyalur PRT, di antara dua sisi mata uang. Jurnal Perempuan. 39, hlm. 111-117.
Venny, A. (2005). Pekerja domestik dari masa ke masa. Jurnal Perempuan. 39, hlm. 4-5.
Wijaksana, M.B. (2005). Perlindungan hukum pekerja rumah tangga, beda antara Indonesia dan Filipina. Jurnal Perempuan. 39, hlm. 67-84.

catatan:
Artikel ini dimuat di buku Hak atas Pangan, Jangan Serakah - Jangan Boros terbitan Sekretariat Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, Keuskupan Agung Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari Kartini

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Selama Kita (Masih) Manusia...