Postingan

SILENCE DAN GUGATAN TERHADAP ALLAH (DAN MANUSIA)

Gambar
(Tentang Penderitaan - Tulisan Tiga)      'Aku sudah lama membaca tentang kemartiran di buku-buku tentang kehidupan santo-santa, tapi dalam hal ini tidak ada sesuatu yang mulia. Tentunya Allah mendengar doa-doa mereka karena mereka mati. Tapi apakah Ia mendengar jeritan mereka? Aku berdoa bahwa Dia akan menjangkau mereka, tetapi bagaimana aku bisa menjelaskan keheningan-Nya ini bagi orang-orang yang telah mengalami penderitaan begitu banyak? Aku membutuhkan semua kekuatanku untuk memahaminya. Kemanusiaan begitu memilukan, Tuhan, sementara laut begitu biru.'      Kegelisahan Padre Rodrigues itu terungkap seusai menyaksikan tiga umatnya mati disalib di tepi laut. Kegelisahan yang sama dialami Elie Wiesel, seorang survivor kamp konsentrasi Nazi. 'Tidak akan pernah kulupakan heningnya malam yang mencabut dari dalam diriku, untuk selama-lamanya, keinginan untuk hidup. Tidak pernah kulupakan saat-saat itu yang membunuh Allahku dan jiwaku dan mengubah semua impianku men

SILENCE DAN SALIB UNTUK MELAWAN DERITA

Gambar
(Tentang Penderitaan - Bagian Dua)      Padre Rodrigues menulis surat kepada pemimpinnya tentang umat Nasrani di Jepang yang mengalami penyiksaan: These people are the most devoted of God’s creatures on earth. Father Valignano, I confess, I began to wonder. God sends us trials to test us, and everything He does is good. And I prayed to undergo trials, like his Son. But why must their trial be so terrible? And why, when I look in my own heart, do the answers I give them seem so weak?      Pada kesempatan yang lain, Padre Rodigues berkata kepada seorang Nasrani bernama Mokichi, "Imanmu memberikan kekuatan padaku." Mokichi menjawab, "Cintaku pada Tuhan begitu kuat. Apakah itu sama dengan iman?" Mokichi, pada akhirnya mati disalib karena cinta (atau iman) itu.      Paul Budi Kleden (2006) menulis bahwa iman tidak bermula dari kekosongan atau pengalaman kekecewaan. Iman selalu mengandaikan pengalaman kedekatan dengan Allah, dan di dalamnya terkandung janji.

SILENCE DAN ALLAH YANG MELAWAN ALLAH

Gambar
(Tentang Penderitaan - Bagian Satu)      Tubuh yang penuh luka itu tergantung di kayu salib. Serdadu lantas menyiramkan air panas ke sekujur tubuh itu. Sementara itu, di tempat yang berbeda, sejumlah orang dibungkus tikar jerami, lalu diletakkan di atas panggangan api. Beberapa lainnya berdiri di atas tumpukan kayu dengan tangan terikat, lalu dibakar hidup-hidup. Di dalam basecamp, sejumlah orang digantung terbalik, urat nadi di lehernya disayat kecil sehingga darah menetes perlahan. Akan tiba suatu saat ketika darah tak lagi mampu mengalir ke otak.      Entah siksaan apa lagi yang dialami sejumlah orang Nasrani itu. Entah juga mana yang lebih menyiksa: mereka yang mengalaminya atau yang dipaksa untuk menyaksikannya. Mokichi, seorang di antara mereka yang disalib di tepi laut, butuh waktu empat hari untuk mati. Penduduk desa menyaksikan semuanya, pun pada saat ketika Mokichi menyenandungkan kidung terakhirnya.      Pertanyaan klasik Epikur pun seakan mengalun bersama senandun

SILENCE DAN BERAKHIRNYA SIMBOL

Gambar
     Dalam film Silence, pengingkaran iman ditandai dengan menginjak benda-benda rohani. Di tanah, diletakkan plakat bergambar Yesus atau Bunda Maria, dan umat Nasrani diminta untuk menginjaknya.      Tentu saja, banyak yang menolak sehingga menuai akibatnya: disalib di tepi laut agar dihantam gelombang, dibakar api di atas panggangan, atau yang mungkin tak terlalu menyiksa, dipenggal kepalanya. Mereka yang menginjak gambar-gambar itu akan dibebaskan dari siksaan.      Ketika Mokichi, seorang Nasrani bertanya pada Padre Rodrigues tentang apa yang harus dilakukan, Padre menjawab tegas, "Injak saja."      Itulah yang dilakukan Mokichi dan dua Nasrani lainnya. Tapi tentu saja, Inoue yang keji tidak kekurangan akal. Gambar Yesus yang telah diinjak pun disingkirkan, diganti dengan salib dengan corpus Christi, dan para Nasrani juga diminta mengucapkan bahwa Perawan Suci adalah seorang pelacur. Tak ada yang sanggup melakukannya. Salib pun menyambut mereka.      Anthony

Seberkas Pelangi dan Janji yang Diingkari

Gambar
Dalam kitab Kejadian, seusai air bah menggenangi bumi, Allah mengikat perjanjian dengan manusia melalui Nabi Nuh. Allah menjadi Allah bagi semua orang. Ia menginginkan keselamatan manusia, dan memampukan manusia untuk mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab. Allah juga mempersiapkan manusia untuk mengadakan persatuan Ilahi dengan Roh Kudus. Sebagai tanda perjanjian itu, Allah membuat pelangi di langit. Pelangi menjadi tanda rekonsiliasi antara Allah dengan manusia. Ribuan tahun kemudian, diperkirakan sebanyak 26 juta pengguna Facebook mengubah fotonya dengan menggunakan fitur pelangi  (VOA Indonesia, 3/7). Itu adalah tanda dukungan mereka bagi komunitasLesbian, Gay, Bisexual and Transgender (LGBT) serta perkawinan sejenis (homoseksual). Pelangi adalah warna simbolis gerakan persamaan hak kaum LGBT. Banyak juga di antaranya yang mem-posting status dengan hashtag #LoveWins, sebagai ungkapan kegembiraan mereka. Dukungan itu tak muncul tiba-tiba. Pemicunya adalah keputusan Ma

Madah Pujian dan Mereka yang Ditinggalkan

Mendung bergayut di langit pagi itu. Hanya sekitar satu jam berkendara saja dari Jakarta, rombongan berjumlah lima mobil sampai di Balaraja, Tangerang. Keluar pintu tol, memasuki kota, perjalanan diteruskan menuju kampung Kresek. Jalanan sempit dan rusak. Selokan pinggir jalan tak dibuat dengan baik, dan air kehitaman menggenang di dalamnya. Sampah teronggok di sana-sini, bahkan juga di tepian jalan raya. Pasar yang dilewati dalam perjalanan, keadaannya kumuh, becek dan banyak lalat beterbangan. Pemandangan itu menimbulkan pertanyaan di benak: di daerah yang hanya satu jam saja dari Jakarta, mengapa kondisinya begitu buruk? Realitas yang Terkuak dalam Perjumpaan Pertanyaan itu kian jelas setelah rombongan tiba di Pondok Pesantren Subulussalam. Hari itu, Minggu, 16 Februari 2014, Posko Tanggap Darurat dan Balai Pengobatan Umum Paroki Tomang Gereja Maria Bunda Karmel melaksanakan bakti sosial (baksos) kesehatan bagi penduduk yang terkena banjir pada medio Januari 2014. Bekerja sama

Pencitraan

Kata ‘pencitraan’ begitu akrab dengan pemahaman kita akhir-akhir ini, terutama jika dikaitkan dengan tingkah polah para figur publik. Pencitraan itu sendiri, kendati belum menjadi bentuk baku dari bahasa Indonesia, dapat diartikan sebagai ‘usaha untuk menonjolkan citra terbaik di mata publik’ (versierepublik.com). Terlepas dari soal baku-tidaknya, usaha itulah yang tampak dilakukan oleh para tokoh publik di negeri ini. Di tengah kabar miring tentang para figur publik, terutama yang menyoal absennya mereka di tengah masa sidang hingga sensasionalitas gratifikasi seksual, dari masalah ribet -nya birokrasi hingga korupsi triliunan rupiah, rakyat masih mendapat suguhan informasi tentang figur publik yang tak ragu nyemplung ke gorong-gorong air atau menghadang arogansi para pengusaha besar yang memiskinkan rakyat. Dari beragam informasi itu pun rakyat mafhum: ada figur yang bekerja benar-benar, ada yang bisanya hanya omong besar. Yang kerap omong besar itulah yang kerap ditengarai melaku